Senin, 14 November 2011

TUGAS AUDIT

KASUS ENRON dan KAP ARTHUR ANDERSEN



Enron merupakan perusahaan dari penggabungan antara InterNorth (penyalur gas alam melalui pipa) dengan Houston Natural Gas. Kedua perusahaan ini bergabung pada tahun 1985. Bisnis inti Enron bergerak dalam industri energi, kemudian melakukan diversifikasi usaha yang sangat luas bahkan sampai pada bidang yang tidak ada kaitannya dengan industri energi. Diversifikasi usaha tersebut, antara lain meliputi future transaction, trading commodity non energy dan kegiatan bisnis keuangan.Kasus Enron mulai terungkap pada bulan Desember tahun 2001 dan terus menggelinding pada tahun 2002 berimplikasi sangat luas terhadap pasar keuangan global yang di tandai dengan menurunnya harga saham secara drastis berbagai bursa efek di belahan dunia, mulai dari Amerika, Eropa, sampai ke Asia. Enron, suatu perusahaan yang menduduki ranking tujuh dari lima ratus perusahaan terkemuka di Amerika Serikat dan merupakan perusahaan energi terbesar di AS jatuh bangkrut dengan meninggalkan hutang hampir sebesar US $ 31.2 milyar.
Dalam kasus Enron diketahui terjadinya perilaku moral hazard diantaranya manipulasi laporan keuangan dengan mencatat keuntungan 600 juta Dollar AS padahal perusahaan mengalami kerugian. Manipulasi keuntungan disebabkan keinginan perusahaan agar saham tetap diminati investor, kasus memalukan ini konon ikut melibatkan orang dalam gedung putih, termasuk wakil presiden Amerika Serikat. Kronologis, fakta, data dan informasi dari berbagai sumber yang berkaitan dengan hancurnya Enron (debacle), dapat penulis kemukakan sebagai berikut:
1. Board of Director (dewan direktur, direktur eksekutif dan direktur non eksekutif) membiarkan kegitan-kegitan bisnis tertentu mengandung unsur konflik kepentingan dan mengijinkan terjadinya transaksi-transaksi berdasarkan informasi yang hanya bisa di akses oleh Pihak dalam perusahaan (insider trading), termasuk praktek akuntansi dan bisnis tidak sehat sebelum hal tersebut terungkap kepada publik.
2. Enron merupakan salah satu perusahaan besar pertama yang melakukan out sourcing secara total atas fungsi internal audit perusahaan.
a. Mantan Chief Audit Executif Enron (Kepala internal audit) semula
adalah partner KAP Andersen yang di tunjuk sebagai akuntan publik perusahaan.
b. Direktur keuangan Enron berasal dari KAP Andersen.
c. Sebagian besar Staf akunting Enron berasal dari KAP Andersen.
3 Pada awal tahun 2001 patner KAP Andersen melakukan evaluasi terhadap kemungkinan mempertahankan atau melepaskan Enron sebagai klien perusahaan, mengingat resiko yang sangat tinggi berkaitan dengan praktek akuntansi dan bisnis enron. Dari hasil evaluasi di putuskan untuk tetap mempertahankan Enron sebagai klien KAP Andersen.
4 Salah seorang eksekutif Enron di laporkan telah mempertanyakan praktek akunting perusahaan yang dinilai tidak sehat dan mengungkapkan kekhawatiran berkaitan dengan hal tersebut kepada CEO dan partner KAP Andersen pada pertengahan 2001. CEO Enron menugaskan penasehat hukum perusahaan untuk melakukan investigasi atas kekhawatiran tersebut tetapi tidak memperkenankan penasehat hukum untuk mempertanyakan pertimbangan yang melatarbelakangi akuntansi yang dipersoalkan. Hasil investigasi oleh penasehat hukum tersebut menyimpulkan bahwa tidak ada hal-hal yang serius yang perlu diperhatikan.
5 Pada tanggal 16 Oktober 2001, Enron menerbitkan laporan keuangan triwulan ketiga. Dalam laporan itu disebutkan bahwa laba bersih Enron telah meningkat menjadi $393 juta, naik $100 juta dibandingkan periode sebelumnya. CEO Enron, Kenneth Lay, menyebutkan bahwa Enron secara berkesinambungan memberikan prospek yang sangat baik. Ia juga tidak menjelaskan secara rinci tentang pembebanan biaya akuntansi khusus (special accounting charge/expense) sebesar $1 miliar yang sesungguhnya menyebabkan hasil aktual pada periode tersebut menjadi rugi $644 juta. Para analis dan reporter kemudian mencari tahu lebih jauh mengenai beban $1 miliar tersebut, dan ternyata berasal dari transaksi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang didirikan oleh CFO Enron.
6 Pada tanggal 2 Desember 2001 Enron mendaftarkan kebangkrutan perusahaan ke pengadilan dan memecat 5000 pegawai. Pada saat itu terungkap bahwa terdapat hutang perusahaan yang tidak di laporkan senilai lebih dari satu milyar dolar. Dengan pengungkapan ini nilai investasi dan laba yang di tahan (retained earning) berkurang dalam jumlah yang sama.
7 Enron dan KAP Andersen dituduh telah melakukan kriminal dalam bentuk penghancuran dokumen yang berkaitan dengan investigasi atas kebangkrutan Enron (penghambatan terhadap proses peradilan
8 Dana pensiun Enron sebagian besar diinvestasikan dalam bentuk saham Enron. Sementara itu harga saham Enron terus menurun sampai hampir tidak ada nilainya.
9 KAP Andersen diberhentikan sebagai auditor enron pada pertengahan juni 2002. sementara KAP Andersen menyatakan bahwa penugasan Audit oleh Enron telah berakhir pada saat Enron mengajukan proses kebangkrutan pada 2 Desember 2001.
10 CEO Enron, Kenneth Lay mengundurkan diri pada tanggal 2 Januari 2002 akan tetapi masih dipertahankan posisinya di dewan direktur perusahaan. Pada tanggal 4 Pebruari Mr. Lay mengundurkan diri dari dewan direktur perusahaan.
11 Tanggal 28 Pebruari 2002 KAP Andersen menawarkan ganti rugi 750 Juta US dollar untuk menyelesaikan berbagai gugatan hukum yang diajukan kepada KAP Andersen.
12 Pemerintahan Amerika (The US General Services Administration) melarang Enron dan KAP Andersen untuk melakukan kontrak pekerjaan dengan lembaga pemerintahan di Amerika.
13 tanggal 14 Maret 2002 departemen kehakiman Amerika memvonis KAP Andersen bersalah atas tuduhan melakukan penghambatan dalam proses peradilan karena telah menghancurkan dokumen-dokumen yang sedang di selidiki.
14 KAP Andersen terus menerima konsekwensi negatif dari kasus Enron berupa kehilangan klien, pembelotan afiliasi yang bergabung dengan KAP yang lain dan pengungkapan yang meningkat mengenai keterlibatan pegawai KAP Andersen dalam kasus Enron.
15 tanggal 22 Maret 2002 mantan ketua Federal Reserve, Paul Volkcer, yang direkrut untuk melakukan revisi terhadap praktek audit dan meningkatkan kembali citra KAP Andersen mengusulkan agar manajeman KAP Andersen yang ada diberhentikan dan membentuk suatu komite yang diketuai oleh Paul sendiri untuk menyusun manajemen baru.
16 tanggal 26 Maret 2002 CEO Andersen Joseph Berandino mengundurkan diri dari jabatannya.
17 Tanggal 8 April 2002 seorang partner KAP Andersen, David Duncan, yang bertindak sebagai penanggungjawab audit Enron mengaku bersalah atas tuduhan melakukan hambatan proses peradilan dan setuju untuk menjadi saksi kunci dipengadilan bagi kasus KAP Andersen dan Enron .
18 tanggal 9 April 2002 Jeffrey McMahon mengumumkan pengunduran diri sebagai presiden dan Chief Opereting Officer Enron yang berlaku efektif 1 Juni 2002.
19 Tanggal 15 Juni 2002 juri federal di Houston menyatakan KAP Andersen bersalah telah melakukan hambatan terhadap proses peradilan.
B. Identifikasi Masalah
Identifikasi dari masalah ini adalah Bagaimana Kasus Enron dilihat dari Perspektif Etika Bisnis dan Profesional Akuntan beserta implikasinya.
C. Pembahasan Masalah
Menurut teori fraud ada 3 komponen utama yang menyebabkan orang melakukan kecurangan, menipulasi, korupsi dan sebangsanya (prilaku tidak etis), yaitu opportunity; pressure; dan rationalization, ketiga hal tersebut akan dapat kita hindari melalui meningkatkan moral, akhlak, etika, perilaku, dan lain sebagainya, karena kita meyakini bahwa tindakan yang bermoral akan memberikan implikasi terhadap kepercayaan publik (public trust). Praktik bisnis Enron yang menjadikannya bangkrut dan hancur serta berimplikasi negatif bagi banyak pihak.Pihak yang dirugikan dari kasus ini tidak hanya investor Enron saja, tetapi terutama karyawan Enron yang menginvestasikan dana pensiunnya dalam saham perusahaan serta investor di pasar modal pada umumnya (social impact). Milyaran dolar kekayaan investor terhapus seketika dengan meluncurnya harga saham berbagai perusahaaan di bursa efek. Jika dilihat dari Agency Theory, Andersen sebagai KAP telah menciderai kepercayaan dari pihak stock holder atau principal untuk memberikan suatu fairrness information mengenai pertanggungjawaban dari pihak agent dalam mengemban amanah dari principal. Pihak agent dalam hal ini manajemen Enron telah bertindak secara rasional untuk kepentingan dirinya (self interest oriented) dengan melupakan norma dan etika bisnis yang sehat. Lalu apa yang dituai oleh Enron dan KAP Andersen dari sebuah ketidak jujuran, kebohongan atau dari praktik bisnis yang tidak etis? adalah hutang dan sebuah kehancuran yang menyisakan penderitaan bagi banyak pihak disamping proses peradilan dan tuntutan hukum.
D. Dampak Akibat Kasus Enron dan KAP Andersen
Kasus ini memberikan dampak di Amerika bahkan di Indonesia.
A. Seperti yang saya kutip dari sumber yang sama (blog yang Diposkan oleh Dr. Dedi Kusmayadi, SE., M.Si., Ak di 04:47), kasus ini mempunyai implikasi terhadap pembaharuan tatanan kondisi maupun regulasi praktik bisnis di Amerika Serikat antara lain :
1. Pemerintah AS menerbitkan Sarbanes-Oxley Act (SOX) untuk melindungi para investor dengan cara meningkatkan akurasi dan reabilitas pengungkapan yang dilakukan perusahaan publik. Selain itu, dibentuk pula PCAOB (Public Company Accounting Oversight Board) yang bertugas:
• Mendaftar KAP yang mengaudit perusahaan publik
• Menetapkan atau mengadopsi standar audit, pengendalian
mutu, etika, independensi dan standar lain yang berkaitan dengan audit perusahaan publik
• Menyelidiki KAP dan karyawannya, melakukan disciplinary hearings, dan mengenakan sanksi jika perlu
• Melaksanakan kewajiban lain yang diperlukan untuk meningkatkan standar professional di KAP
• Meningkatkan ketaatan terhadap SOX, peraturan-peraturan PCAOB, standar professional, peraturan pasar modal yang berkaitan dengan audit perusahaan publik.
2. Perubahan-perubahan yang ditentukan dalam Sarbanes-Oxley Act
• Untuk menjamin independensi auditor, maka KAP dilarang
memberikan jasa non audit kepada perusahaan yang diaudit. Berikut ini adalah sejumlah jasa non audit yang dilarang :
1. Pembukuan dan jasa lain yang berkaitan.
2. Desain dan implementasi sistem informasi keuangan.
3. Jasa appraisal dan valuation
4. Opini fairness
5. Fungsi-fungsi berkaitan dengan jasa manajemen
6. Broker, dealer, dan penasihat investasi
• Membutuhkan persetujuan dari audit committee perusahaan
sebelum melakukan audit. Setiap perusahaan memiliki audit committee ini karena definisinya diperluas, yaitu jika tidak ada, maka seluruh dewan komisaris menjadi audit committee.
• Melarang KAP memberikan jasa audit jika audit partnernya telah memberikan jasa audit tersebut selama lima tahun berturut-turut kepada klien tersebut.
• KAP harus segera membuat laporan kepada audit committee
yang menunjukkan kebijakan akuntansi yang penting yang digunakan, alternatif perlakuan-perlakuan akuntansi yang sesuai standar dan telah dibicarakan dengan manajemen perusahaan, pemilihannya oleh manajemen dan preferensi auditor.
• KAP dilarang memberikan jasa audit jika CEO, CFO, chief
accounting officer, controller klien sebelumnya bekerja di KAP
tersebut dan mengaudit klien tersebut setahun sebelumnya.
3. SOX melarang pemusnahan atau manipulasi dokumen yang dapat menghalangi investigasi pemerintah kepada perusahaan yang menyatakan bangkrut. Selain itu, kini CEO dan CFO harus membuat surat pernyataan bahwa laporan keuangan yang mereka laporkan adalah sesuai dengan peraturan SEC dan semua informasi yang dilaporkan adalah wajar dan tidak ada kesalahan material. Sebagai tambahan, menjadi semakin banyak ancaman pidana bagi mereka yang melakukan pelanggaran ini.
4. International Federation Accountants (IFAC), pada akhir tahun 2001 merevisi kode etik bagi para akuntan yang bekerja agar menjadi whitstleblower sebagai berikut “ para profesional dituntut bukan hanya bersikap profesional dalam kaidah-kaidah aturan profesi saja tetapi profesional juga dalam menyatakan kebenaran pada saat masyarakat akan dirugikan atau ada tindakan-tindakan perusahaan yang tidak sesuai dengan hukum yang berlaku”.
5. AICPA dan The Big Five KAP di Amerika mendukung inisiatif Reform yang melarang KAP untuk menawarkan jasa internal audit dan jasa konsultasi lainnya kepada perusahaan yang menjadi klien audit KAP yang bersangkutan.
6. Jhon Whitehead dan Ira Millstein, ketua bersama Blue Ribbon Committe SEC,mengeluarkan rekomendasi tentang perlunya kongres menyusun Undang-Undang yang mengharuskan perusahaan Go Public melaksanakan dan melaporkan ketaatanyan terhadap pedoman corporate governance.
7. Securities Exchange Commission (SEC) dan New York Stock Exchange (NYSE), menyerukan bahwa auditor internal harus lebih mempertajam peran dalam pemeriksaan ketaatan, mengelola resiko, dan mengembangkan operasi bisnis, dan setiap perusahaan diwajibkan untuk memiliki fungsi audit intern (James : 2003).
B. Adapun dampak lain dari kasus ini yang saya kutip dari sebuah artikel yang berjudul “Audit Eksternal dan Hubungannya dengan Komite Audit”
(Oleh IKAI ) . Dalam artikel tersebut dijelaskan menurut Agus Kretarto-Anggota Komite Audit PT Bank BII, Tbk dalam pembahasannya tentang “Kriteria Pemilihan Auditor Eksternal” menjelaskan bahwa profesi akuntan publik saat ini sedang mendapatkan sorotan tajam bahkan sinis dari masyarakat umum akibat terjadinya skandal-skandal besar di negara maju seperti AS yaitu kasus Enron dan WorldCom. Akibat kasus-kasus tersebut kini kredibilitas akuntan publik menjadi jatuh terutama disebabkan oleh keterlibatan Arthur Andersen salah satu KAP terbesar di dunia di dalam skandal tersebut. Akuntan Publik tidak lagi dipandang sebagai profesi yang unik melainkan sebagai industri yang tidak lepas dari kepentingan bisnis yang sempit.
Fenomena ini telah mendorong berbagai upaya untuk memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap profesi akuntan publik. Contoh yang paling nyata adalah inisiatif Sarbanes-Oxley yang merekomendasikan pembentukan badan pengawas akuntan publik di pasar modal. Indonesia sendiri tidak terlepas dari pengaruh skandal tersebut sehingga berbagai pihak seperti IAI dan BAPEPAM kini tengah membahas pengawasan kompetensi dari Akuntan publik terutama yang terlibat di pasar modal Indonesia.
Bagi perusahaan di Indonesia sendiri, pelajaran dari AS tersebut harus menjadi acuan agar tidak sampai terulang di Indonesia. Untuk itu di dalam menunjuk auditor eksternalnya perusahaan harus memiliki kriteria yang mampu meminimalkan resiko manipulasi audit.
C. Kasus ini juga berdampak di Indonesia, seperti yang saya kutip dari Jum’at, 05 April 2002 | 10:27 WIB TEMPO Interaktif, Jakarta dengan judul “Arthur Andersen Indonesia Belum Terpengaruh Enron”.
Berikut adalah kutipan dari artikel tersebut :
TEMPO Interaktif, Jakarta:Prasetio, Utomo & Co, member akuntan publik Arthur Andersen di Indonesia, belum mendapat pengaruh bangkrutnya Enron. Country Managing Partner Arthur Andersen Indonesia, Soemarso Slamet Rahardjo, di kantornya, Jumat (5/4), juga mengatakan akan mengikuti kantor pusat berkaitan dengan soal merger. “Kami tetap bekerja seperti biasa tanpa gangguan, dengan dukungan infrastruktur dan administratif penuh dari jaringan global maupun regional Andersen Worldwide,” katanya.
Arthur Andersen LLP – member di Amerika Serikat – dianggap ikut bersalah dalam kebangkrutan Enron. Akibatnya, Member Arthur Andersen di beberapa negara seperti, Jepang dan Thailand, telah membuat kesepakatan merger dengan KPMG, Australia dan Selandia Baru dengan Ernst & Young, dan Spanyol dengan Deloitte Touche Tohmatsu.
Soemarso mengatakan di Amerika Serikat, sejumlah kliennya tidak lagi menggunakan Andersen sebagai konsultannya akibat kasus Enron. “Kalau Indonesia, seperti saya katakan, secara bisnis masih bisa dipertahankan,” katanya. “Belum ada klien yang drop gara-gara kasus Enron.”
Ia mengatakan perkembangan terakhir yang terjadi pada Andersen LLP dapat mempengaruhi hubungan kerjasama perusahaan yang berdiri sejak 1968 itu dengan Andersen. Tapi, katanya, “Sampai saat ini kami masih bekerjasama dengan Andersen.”
Tapi jika Andersen di Amerika Serikat kondisinya tidak membaik, katanya, “Mau tidak mau kita juga nantinya terpaksa harus merger.”
Ia mengatakan Arthur Andersen Indonesia, yang memiliki lebih dari 1000 eksekutif, akan mengikuti kebijakan pusat. “Dengan siapa [kita merger], kita ikutin,” katanya. Alasannya, jika merger sendiri, meskipun berhak, nilainya akan dipandang kecil.
Ia juga mengatakan dirinya dan sekitar 40 partner Prasetio Utomo akan terus mengkaji dengan hati-hati beberapa opsi sambil mencermati perkembangan di AS. Pada waktunya nanti, lanjut dia, Prasetio Utomo akan membuat keputusan yang sebaik-baiknya untuk melindungi kepentingan karyawan. “(Seandainya merger)Tidak ada pemutusan hubungan kerja. Tidak ada itu,” tegasnya.
Di Amerika sendiri, aktivitas seluruh member Andersen dibekukan pemerintah. Akibatnya, menurut Asian Wall Street Journal edisi Jumat (5/4), klien-klien Andersen LLP beralih ke berbagai auditor. Antara lain Delotte and Touche (10 persen), KPMG (11 persen), PriceWaterhouseCooper (20 persen), dan Ernst & Young (28 persen). Dan yang berpindah ke auditor-auditor kecil lainnya atau mengaku belum tahu berpindah kemana sebanyak 40 persen.
Prasetio, Utomo&Co didirikan tahun 1968. Pada awal pendiriannya, firm ini bekerja sama dengan SGV Group (Sycip, Gorres, Velayo) yang berbasis di Manila, Filipina. Pada saat itu, SGV Group merupakan KAP independen yang memiliki jaringan terbesar di Asia Timur. Pada tahun 1985, SGV Group bergabung menjadi mitra Arthur Andersen & Co., Societe Cooperative, yang diikuti pula oleh Prasetio Utomo. (Ucok Ritonga-Tempo News Room)
E. Simpulan
Dari kasus tersebut bisa saya simpulkan bahwa Enron dan KAP Arthur Andersen sudah melanggar kode etik yang seharusnya menjadi pedoman dalam melaksanakan tugasnya dan bukan untuk dilanggar. Mungkin saja pelanggaran tersebut awalnya mendatangkan keuntungan bagi Enron, tetapi akhirnya dapat menjatuhkan kredibilitas bahkan menghancurkan Enron dan KAP Arthur Andersen. Dalam kasus ini, KAP yang seharusnya bisa bersikap independen tidak dilakukan oleh KAP Arthur Andersen. Karena perbuatan mereka inilah, kedua-duanya menuai kehancuran dimana Enron bangkrut dengan meninggalkan hutang milyaran dolar sedangakn KAP Arthur Andersen sendiri kehilangan keindependensiannya dan kepercayaan dari masyarakat terhadap KAP tersebut, juga berdampak pada karyawan yang bekerja di KAP Arthur Andersen dimana mereka menjadi sulit untuk mendapatkan pekerjaan akibat kasus ini. Kesimpulan yang bisa diambil dar ketiga sumber yang saya kutip kurang lebih sama seperti yang saya simpulkan.
Salah satunya adalah kesimpulan yang saya kutip dari blog yang Diposkan oleh Dr. Dedi Kusmayadi, SE., M.Si., Ak di 04:47 yang berisi sebagai berikut :
• Pihak manajemen Enron telah melakukan berbagaimacam pelanggaran praktik bisnis yang sehat melakukan (Deception, discrimination of information, coercion, bribery) dan keluar dari prinsif good corporate governance.Akhirnya Enron harus menuai suatu kehancuran yang tragis dengan meninggalkan hutang milyaran dolar.
• KAP Andersen sebagai pihak yang seharusnya menjungjung tinggi independensi, dan profesionalisme telah melakukan pelanggaran kode etik profesi dan ingkar dari tanggungjawab terhadap profesi maupun masyarakat diantaranya melalui Deception, discrimination of information, coercion, bribery. Akhirnya KAP Andersen di tutup disamping harus mempertanggungjawabkan tindakannya secara hukum.

TUGAS AUDIT

Triton Energy : Globalisasi dan Korupsi Global

Dua tim audit Indonesia secara periodik memeriksa catatan akuntansi dan pajak Triton. Auditor Pertamina mereview catatan catatan akuntansi untuk meyakinkan bahwa anak usaha Triton sesuai dengan kewajiban kontrak dengan Pertamina. Auditor dari kementrian keuangan dan auditor Pertamina menginspeksi catatan pajak untuk meyakinkan bahwa pembayaran pajak sudah tepat. Auditor pemerintah dalam hal ini adalah BPKP.

Auditor Pertamina dan BPKP menandatangani audit pajak bersama pada unit operasi Triton di Indonesia pada Mei 1989. hasil audit mengungkapkan bahwa Triton berhutang kekurangan pajak sebesar $618.000. dari total ini $385.000 diantaranya merupakan pajak yang dikumpulkan oleh auditor Pertamina. Sementara sisa $233.000 merupakan pajak yang ditaksir oleh auditor BPKP. Dua orang pegawai Triton Indonesia mendiskusikan hal ini dengan Roland Siouffi – orang berkebangsaan Perancis yang telah lama tinggal di Indonesia yang bertugas sebagai konsultan humas Triton. Siouffie kemudian bertemu dengan orang kunci tim audit Pertamina. Siouffi mengatur pembayaran kepada dua orang ini sebesar sebesar $160.000 untuk menutupi tambahan pajak yang di perkiraan oleh auditor Pertamina itu. Triton Indonesia membayar $165.000 kepada suatu perusahaan yang dikendalikan oleh Siouffie pada agustus 1989. beberapa minggu kemudian, Triton membayar $120.000 dan $40.000 berturut turut kepada kedua auditor Pertamina itu. Controller Triton Indonesia mempersiapkan dokumen palsu untuk pembayaran itu kepada perusahaan milik Siouffie. Dokumen itu mengindikasikan bahwa pembayaran itu untuk pembelian data geologi untuk ladang enim.

Pada agustus 1989, Auditor BPKP mengingatkan pejabat Triton Indonesia bahwa mereka masih berhutang pajak sebesar $233.000. Eksekutif Triton mendiskusikan hal ini dengan Siouffie. Setelah rapat dengan auditor BPKP, Siouffie mengatakan kepada Management Triton Indonesia bahwa dengan membayar $20.000 auditor itu akan mengurangi tagihan pajak dari $233.000 menjadi $155.000. Triton Indonesia kemudian membayar $22.500 kepada perusahaan lainnya yang dimiliki oleh Siouffie, yang kemudian perusahaan itu membayar auditor BPKP sebesar $20.000. Controller Triton Indonesia membuat dokumen palsu yang menjelaskan pembayaran itu kepada perusahaan milk Siouffie sebagai pemeliharaan peralatan ladang enim. Setelah membayar kepada auditor Pertamina dan BPKP yang dilakukan oleh Sioufiie, Triton Indonesia menerima surat dari kedua tim audit yang menyatakan bahwa mereka telah menyelesaikan kasus pajak ini. Sepanjang 1989 dan 1990, Triton Indonesia terus menyalurkan pembayaran yang tidak benar kepada sejumlah pejabat pemerintahan Indonesia melalui Roland Siouffie. Triton Indonesia membuat dokumen palsu untuk membersihkan setiap pembayaran untuk tujuan akuntansi. SEC mengidentifikasi sebesar $450.000 dari catatan pembayaran itu di catatan akuntansi Triton Indonesia.

Sejumlah pejabat Triton Energy secara periodik memberikan pengarahan kepada orang-orang kunci di Triton Indonesia terkait dengan pembayaran yang dilakukan oleh Sioufiie. Dalam pengarahan itu, pejabat Triton juga mengajarkan jurnal akuntansi yang salah dan dokumen yang disiapkan untuk menyembunyikan praktek yang mereka lakukan, tapi pengarahan ini gagal menyetop praktek ini. Pada suatu waktu pegawai di Triton Indonesia secara langsung mengatakan kepada presidir Triton Energy bahwa pemebayaran haram dilakukan siouffie. Presidir itu menjawab “selama ia bekerja di negara lain dan mengerti hal-hal seperti itu harus dilakukan pada kondisi yang tepat”

SEC mengirim pesan

Pada tahun 1977. Setelah 4 tahun di Triton Indonesia dan perusahaan Induknya sebagai puncak investigasi itu SEC mengeluarkan suatu release. Release itu mengenakan Triton dan eksekutifnya dengan pelanggaran anti penyuapan, akuntansi, dan pengendalian yang diperlukan dari FCPA. Tanpa mengakui atau menolak pegenaan ini, 6 pegawai Triton energy dan Triton Indonesia menandatangani persetujuan surat kesepakatan yang melarang mereka melakukan pelanggaran hukum federal dimasa yang akan datang. Surat persetujuan kesepakatan ini juga menjatuhkan denda sebesar $300.000 pada Triton Energy dan denda sebesar $35.000 dan $50.000 pada dua dua pejabat Triton Indonesia. Berikut adalah petikan catatan laporan keuangan tahun 1996 yang merupakan penyelesaian antara Triton Energy dan SEC:

Pada Februari 1997, perusahaan dan SEC membuat penyelesaian atas investigasi SEC mengenai pelanggaran aturan FCPA yang berkaitan dengan operasi Triton di Indonesia. Investigasi tersebut berakhir dengan perjanjian kesepakatan meskipun perusahaan tanpa mengakui atau menolak pembebanan yang dibuat oleh SEC yang mengatakan bahwa Triton melakukan pelanggaran UU pasar modal tahun 1934 ketika Triton Indonesia inc melakukan pembayaran pada tahun 1989 dan 1990 kepada konsultan penasihat Triton Indonesia inc. yang berkaitan dengan perusahaan minyak negara Indonesia - Pertamina dan dirjen pajak Indonesia, salah mencatat pembayaran tersebut dan gagal memelihara pengendalian yang memadai. Dengan syarat penyelesaian ini, anak usaha TEC secara permanen dilarang melakukan pelanggran dimasa yang akan datang atas catatan dan menyediakan internal control yang memadai sesuai dengan UU pasar modal tahun 1934 dan membayar pinalty sebesar $300.000.

Meskipun Triton Energy tidak mengotorisasi pembayaran palsu itu dan akuntansi yang salah atas transaksi itu, SEC dengan tajam mengkritisi dua eksekutif yang bertanggungjawab atas praktek itu yang membiarkan praktek itu berlangsung tanpa pengendaliannya.

Management senior Triton energy xxx dan yyy, mengakui keberadaan praktek itu dan memperlakukannya sebagai biaya pelaksanaan bisnis di Yurisdiksi luar negeri. Toleransi atas praktek itu bertentangan dengan lingkungan bisnis yang fair dan meruntuhkan kepercayaan pubic.

SEC mengakui didepan umum bahwa dia telah mengirim pesan kepada manager perusahaan. Pegawai SEC menandai bahwa kasus ini menekankan pada tanggung jawab managemen perusahaan dalam kaitannya dengan pembayaran internasional. Dan menekankan kepada semua perusahaan Amerika bahwa adalah tidak baik melakukan penyuapan sepanjang kalau tidak ketahuan. Dua tim audit Indonesia secara periodik memeriksa catatan akuntansi dan pajak Triton. Auditor Pertamina mereview catatan catatan akuntansi untuk meyakinkan bahwa anak usaha Triton sesuai dengan kewajiban kontrak dengan Pertamina. Auditor dari kementrian keuangan dan auditor Pertamina menginspeksi catatan pajak untuk meyakinkan bahwa pembayaran pajak sudah tepat. Auditor pemerintah dalam hal ini adalah BPKP.

Auditor Pertamina dan BPKP menandatangani audit pajak bersama pada unit operasi Triton di Indonesia pada Mei 1989. hasil audit mengungkapkan bahwa Triton berhutang kekurangan pajak sebesar $618.000. dari total ini $385.000 diantaranya merupakan pajak yang dikumpulkan oleh auditor Pertamina. Sementara sisa $233.000 merupakan pajak yang ditaksir oleh auditor BPKP. Dua orang pegawai Triton Indonesia mendiskusikan hal ini dengan Roland Siouffi – orang berkebangsaan Perancis yang telah lama tinggal di Indonesia yang bertugas sebagai konsultan humas Triton. Siouffie kemudian bertemu dengan orang kunci tim audit Pertamina. Siouffi mengatur pembayaran kepada dua orang ini sebesar sebesar $160.000 untuk menutupi tambahan pajak yang di perkiraan oleh auditor Pertamina itu. Triton Indonesia membayar $165.000 kepada suatu perusahaan yang dikendalikan oleh Siouffie pada agustus 1989. beberapa minggu kemudian, Triton membayar $120.000 dan $40.000 berturut turut kepada kedua auditor Pertamina itu. Controller Triton Indonesia mempersiapkan dokumen palsu untuk pembayaran itu kepada perusahaan milik Siouffie. Dokumen itu mengindikasikan bahwa pembayaran itu untuk pembelian data geologi untuk ladang enim.

Pada agustus 1989, Auditor BPKP mengingatkan pejabat Triton Indonesia bahwa mereka masih berhutang pajak sebesar $233.000. Eksekutif Triton mendiskusikan hal ini dengan Siouffie. Setelah rapat dengan auditor BPKP, Siouffie mengatakan kepada Management Triton Indonesia bahwa dengan membayar $20.000 auditor itu akan mengurangi tagihan pajak dari $233.000 menjadi $155.000. Triton Indonesia kemudian membayar $22.500 kepada perusahaan lainnya yang dimiliki oleh Siouffie, yang kemudian perusahaan itu membayar auditor BPKP sebesar $20.000. Controller Triton Indonesia membuat dokumen palsu yang menjelaskan pembayaran itu kepada perusahaan milk Siouffie sebagai pemeliharaan peralatan ladang enim. Setelah membayar kepada auditor Pertamina dan BPKP yang dilakukan oleh Sioufiie, Triton Indonesia menerima surat dari kedua tim audit yang menyatakan bahwa mereka telah menyelesaikan kasus pajak ini. Sepanjang 1989 dan 1990, Triton Indonesia terus menyalurkan pembayaran yang tidak benar kepada sejumlah pejabat pemerintahan Indonesia melalui Roland Siouffie. Triton Indonesia membuat dokumen palsu untuk membersihkan setiap pembayaran untuk tujuan akuntansi. SEC mengidentifikasi sebesar $450.000 dari catatan pembayaran itu di catatan akuntansi Triton Indonesia.

Sejumlah pejabat Triton Energy secara periodik memberikan pengarahan kepada orang-orang kunci di Triton Indonesia terkait dengan pembayaran yang dilakukan oleh Sioufiie. Dalam pengarahan itu, pejabat Triton juga mengajarkan jurnal akuntansi yang salah dan dokumen yang disiapkan untuk menyembunyikan praktek yang mereka lakukan, tapi pengarahan ini gagal menyetop praktek ini. Pada suatu waktu pegawai di Triton Indonesia secara langsung mengatakan kepada presidir Triton Energy bahwa pemebayaran haram dilakukan siouffie. Presidir itu menjawab “selama ia bekerja di negara lain dan mengerti hal-hal seperti itu harus dilakukan pada kondisi yang tepat”

SEC mengirim pesan

Pada tahun 1977. Setelah 4 tahun di Triton Indonesia dan perusahaan Induknya sebagai puncak investigasi itu SEC mengeluarkan suatu release. Release itu mengenakan Triton dan eksekutifnya dengan pelanggaran anti penyuapan, akuntansi, dan pengendalian yang diperlukan dari FCPA. Tanpa mengakui atau menolak pegenaan ini, 6 pegawai Triton energy dan Triton Indonesia menandatangani persetujuan surat kesepakatan yang melarang mereka melakukan pelanggaran hukum federal dimasa yang akan datang. Surat persetujuan kesepakatan ini juga menjatuhkan denda sebesar $300.000 pada Triton Energy dan denda sebesar $35.000 dan $50.000 pada dua dua pejabat Triton Indonesia. Berikut adalah petikan catatan laporan keuangan tahun 1996 yang merupakan penyelesaian antara Triton Energy dan SEC:

Pada Februari 1997, perusahaan dan SEC membuat penyelesaian atas investigasi SEC mengenai pelanggaran aturan FCPA yang berkaitan dengan operasi Triton di Indonesia. Investigasi tersebut berakhir dengan perjanjian kesepakatan meskipun perusahaan tanpa mengakui atau menolak pembebanan yang dibuat oleh SEC yang mengatakan bahwa Triton melakukan pelanggaran UU pasar modal tahun 1934 ketika Triton Indonesia inc melakukan pembayaran pada tahun 1989 dan 1990 kepada konsultan penasihat Triton Indonesia inc. yang berkaitan dengan perusahaan minyak negara Indonesia - Pertamina dan dirjen pajak Indonesia, salah mencatat pembayaran tersebut dan gagal memelihara pengendalian yang memadai. Dengan syarat penyelesaian ini, anak usaha TEC secara permanen dilarang melakukan pelanggran dimasa yang akan datang atas catatan dan menyediakan internal control yang memadai sesuai dengan UU pasar modal tahun 1934 dan membayar pinalty sebesar $300.000.

Meskipun Triton Energy tidak mengotorisasi pembayaran palsu itu dan akuntansi yang salah atas transaksi itu, SEC dengan tajam mengkritisi dua eksekutif yang bertanggungjawab atas praktek itu yang membiarkan praktek itu berlangsung tanpa pengendaliannya.

Management senior Triton energy xxx dan yyy, mengakui keberadaan praktek itu dan memperlakukannya sebagai biaya pelaksanaan bisnis di Yurisdiksi luar negeri. Toleransi atas praktek itu bertentangan dengan lingkungan bisnis yang fair dan meruntuhkan kepercayaan pubic.

SEC mengakui didepan umum bahwa dia telah mengirim pesan kepada manager perusahaan. Pegawai SEC menandai bahwa kasus ini menekankan pada tanggung jawab managemen perusahaan dalam kaitannya dengan pembayaran internasional. Dan menekankan kepada semua perusahaan Amerika bahwa adalah tidak ba

Setelah kasus Triton ini. Sepanjang tahun 1990 sejumlah dugaan praktek pembayaran internasional yang ilegal yang dilakukan oleh perusahaan Amerika dilaporkan kepada SEC yang memprakarsai beberapa investigasi FCPA.

Pertumbuhan praktek skema pembayaran internasional yang semakin canggih menyulitkan SEC untuk menegakkan aturan FCPA. Banyak eksekutif melobi untuk melawan aturan FCPA. Eksekutif ini mengatakan bahwa hukum federal menempatkan perusahaan multinasonal Amerika sebagai perushaaan yang tidak memiliki keunggulan bersaing bila dibanding dengan perusahaan multinasional lainnya. Salah satu penasihat president Clinton mendukung opini ini ketika dia melakukan observasi, dia mengatakan bahwa Amerika adalah satu satunya negara yang mengatur penyuapan pegawai negara lain sebagai tindakan kriminal.

Bill Lee tidak pernah secara langsung dikaitkan dengan scandal pembayaran di Indonesia, dia kemudian keluar dari Triton Energy pada Januari 1993. SEC menyetujui bahwa para ekseutif Triton terkait dengan scan dal ini. Semua eksekutif itu sesudah itu mengundurkan diri dari posisi mereka. Thomas Finck, yang bergabung dengan Triton setelah scandal Indonesia menggantikan Lee sebagai CEO di tahun 1996. beberapa jurnalis mengatakan bahwa CEO baru Triton ini akan melakukan trick yang sama seperti yang sebelumnya. Salah satu keputusan utama Finck adalah mereorganisasi Triton Energy sebagai anak usaha dari holding company yang berpusat di kepulauan Caymand. Finck melaporkan bahwa kepindahan kantor pusat Triton ke kepulauan Caymand akan mengurangi beban pajak Triton secara signifikan. Banyak kritik dari keputusan itu. Bebrapa menduga bahwa perusahaan ingin menghindari penelitian berdasarkan UU FCPA.

Triton Energy menjual anak usahanya di Indonesia pada tahun 1996 tetapi Finck melanjutkan strategynya yang penuh resiko itu untuk mendapatkan ladang minyak di belahan dunia lainnya. Penurunan harga minyak menyebabkan nilai cadangan minyak Triton menurun secara drastis selama tahun 1990an. Pejabat perusahaan mengumumkan bahwa Triton dijual dan mengunakan perusahaan investasi untuk menjual Triton kepada pembeli yang potensial. Ketika pembeli tidak bisa ditemukan, Triton mengumumkan rencana restrukturisasi operasinya dan melanjutkan usahanya secara independen. Pengumuman itu menyebabkan saham Triton terjun bebas menjadi harga terendah dalam beberapa tahun terakhir dan mengakibatkan Thomas Finck mengundurkan diri dari jabatannya sebagai CEO. Beberapa tahun kemudian, pada tahun 2001, kegemparan terjadi Triton Energy sebagai perusahaan independen berakhir ketika Amerada Hess membeli perusahaan itu seharga $2.7 miliar.

Senin, 21 Februari 2011

Evolusi Perdangan Internasional


Evolusi/ Perkembangan Teori Perdagangan Internasional

Karena setiap negara berbeda dengan negara lainnya ditinjau dari sudut sumber alamnya, iklimnya, letak geografisnya, penduduk, keahliannya, tenaga kerja, tingkat harga, keadaan stuktur ekonomi dan sosialnya. Hal ini memungkinkan karena ada barang yang hanya  dapat diproduksi di daerah dan iklim tertentu, atau karena suatu negera mempunyai kombinasi faktor-faktor produksi lebih baik dari negara lainnya, sehingga negara itu dapat menghasilkan barang yang lebih dapat bersaing. Adakala produksi dari suatu negara belum dapat dikonsumsi seluruhnya di dalam negeri, maka hal ini semenjak berabad-abad yang lalu telah mendorong orang untuk memperdagangkan hasil produksi itu ke negara lainnya diluar batas negaranya (Amir M.S, 2000).
Bagi banyak negara, termasuk Indonesia, perdagangan internasional, khususnya ekspor, mempunyai peranan sangat penting sebagai motor penggerak perekonomian nasional.  Ekspor akan menghasilkan devisa, selanjutnya dapat digunakan untuk membiayai impor dan pembangunan sektor-sektor ekonomi di dalam negeri.   Secara teoritis (hipotesis), dengan adanya pertumbuhan ekspor maka akan terjadi peningkatan cadangan devisa, pertumbuhan output di dalam negeri, peningkatan kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat serta terjadinya pertumbuhan Produk Domestik Bruto ( Tulus Tambunan, 2001).
Para ekonom seperti Haberler, telah mengemukakan keuntungan-keuntungan perdagangan internasional bagi pembangunan ekonomi negara-negara berkembang dewasa ini. Adapun keuntungan-keuntungan antara lain adalah (Salvatore, 1997):
a.       Perdagangan dapat meningkatkan pendayagunaan sumber-sumber daya domestik di suatu negara berkembang. Artinya melalui hubungan perdagangan internasional, suatu negara berkembang dapat beranjak dari titik produksinya tidak efisien (titik-titik yang terletak di bawah kurva batas kemungkinan produksi), dan memanfaatkan sumber daya yang semula tidak bisa diserap oleh pasar domestik.
b.      Melalui peningkatan ukuran pasar, perdagangan internasional juga dapat menciptakan pembagian kerja dan skala ekonomis (economies of scale) yang lebih tinggi.
c.       Perdagangan internasional juga berfungsi sebagai wahana transmisi gagasan-gagasan baru, teknologi yang lebih baik, serta kecakapan manajerial dan bidang-bidang keahlian lainnya yang diperlukan bagi kegiatan bisnis.
d.      Perdagangan antar negara juga merangsang dan memudahkan mengalirnya arus modal internasional dari negara maju ke negara berkembang.
e.       Perdagangan internasional merupakan instrumen yang efektif untuk mencegah monopoli karena perdagangan pada dasarnya akan merangsang peningkatan efisiensi setiap produsen domestik agar mampu menghadapi persaingan dari negara lain.
Pada dasarnya, perdagangan internasional bisa terjadi apabila kedua belah pihak memperoleh manfaat atau keuntungan dalam perdagangan tersebut ( gains from trade).  Perdagangan internasional menciptakan keuntungan dengan memberikan peluang pada setiap negara untuk mengekspor  barang-barang yang faktor produksinya menggunakan sebagian sumberdaya yang berlimpah dan mengimpor barang-barang yang faktor produksinya langka atau mahal jika diproduksi di dalam negerinya.  Perdagangan internasional juga memungkinkan setiap negara melakukan spesialisasi produksi terbatas pada barang-barang tertentu sehingga memungkinkan dicapai tingkat efisiensi yang lebih tinggi dengan skla produksi yang lebih besar.
Evolusi/ perkembangan teori-teori  perdagangan internasional dapat dikelompokkan sebagai berikut: (1)  Teori Pra Klasik: Mrekantilisme;(2) Teori Klasik : Adam Smith, David Ricardo; (3) Teori Modern: Heckscher-Ohlin; (4) Alternative Theory:  M Porter, R. D’ Aveni, dll. Penjabaran masing masing teroti perdagangan internasional adalah sebagai berikut:
1. 1   Teori Merkantilisme
Istilah merkantilisme berasal dari kata “merchant“  yang berarti pedagang.  Menurut paham merkantilisme, tiap negara yang berkeinginan untuk maju harus melakukan perdagangan dengan negara lain.  Sumber kekayaan negara akan diperoleh melalui surplus perdagangan di luar negeri yang akan diterima dalam bentuk logam mulia.
Aliran merkentilisme yang tumbuh dan berkembang pada abad XVI-XVIII di Eropa Barat, menempatkan kegiatan perdagangan internasional, khususnya ekspor, sebagai lokomotif utama yang dipacu melalui peningkatan industri di dalam negeri.  Ide pokok  merkantilisme adalah sebagai berikut: (Hamdy Hadi: 2004)
a.  Suatu negara akan kaya/ makmur dan kuat bila ekspor lebih besar dari impor
a.       Surplus yang diperoleh dari selisish  (X-M) atau ekspor netto yang positif  tersebut ditunjukkan dengan semakin banyaknya logam mulia ( sebagai alat pembayaran/ uang ) yang dimiliki negara
b.      Logam mulia yang melimpah digunakan oleh negara/raja untuk  memperluas perdagangan di luar negeri dengan kolonisasi (penjajahan).
Merkantilisme menitikberatkan pada 2 (dua) kebijakan penting yakni: (1) Kebijakan merkantilisme dalam usaha untuk memperoleh monopoli perdagangan, monopoli perdagangan tersebut dapat diperoleh dengan memilki armada perdagangan/ armada perang yang kuat; (2) Kebijakan lanjutan adalah uasaha untuk memperoleh daerah-daerah jajahan yang dilakukan melalui ekspansi perdagangan dan penaklukan/penundukan daerah -daerah baru di Amerika, Afrika dan Asia.  Daerah/negara jajahan ini dijadikan sebagai sumber bahan baku dan sekaligus pasar,  sekaligus sebagai sumber langsung logam mulia.  Negara jajahan menjadi sangat tergantung pada negara penjajah. (Lia Amalia, 2007).
Merkantilisme pada prinsipnya harus memperbesar ekspor dan membatasi impor seketat mungkin , sehingga memperoleh surplus perdagangan.  Disamping itu, merkentilisme menerapkan tarif impor yang relatif tinggi untuk mengurangi persaingan barang-barang dari luar negeri terhadap produksi nasional (Sobri, 1986).
Kritik David Hume terhadap merkentilisme adalah sebagai berikut:  Kekayaan / kemakmuran suatu negara yang diukur dari banyaknya logam mulia tidak sepenuhnya benar.  Logam mulia (yang pada waktu itu digunakan sebagai alat pembayaran/uang), maka jika logam mulia banyak berarti Money Supply atau jumlah uang beredar banyak. Jika jumlah uang beredar banyak sedangkan produksi tetap/tidak berubah maka akan terjadi inflasi atau kenaikan harga. Inflasi akan menaikkan harga barang-barang ekspor sehingga kuantitas ekspor menurun.  Sementara harga barang  impor menjadi lebih rendah sehingga impor meningkat.  Dengan demikian impor akan lebih besar dari ekspor ( terjadi defisit) yang menyebabkan logam mulia yang dimilki akan berkurang.
Kebijakan Merkantilisme pada saat ini masih dijalankan oleh banyak negara (termasuk negara-negara maju), yaitu kebijakan proteksi untuk melindungi dan mendorong ekonomi dan industri dalam negeri dengan banyak menggunakan hambatan non- tarif (non-tariff barier) seperti: penerapan syarat-syarat dan sertifikasi tertentu, ketentuan teknis, peraturan kesehatan/karantina, dikaitkan dengan isu-isu lingkungan hidup, hak asasi manusia dan lain-lain (Hamdy Hadi, 2004).
1.2    Teori Keunggulan Mutlak (Absolute Advantage)
Menurut teori Keunggulan Absolut yang dikemukakan Adam Smith, bahwa perdagangan internasional akan terjadi jika setiap Negara mampu memprodukdi barang tertentu secara lebih efisien daripada negara lain melalui spesialisasi dan pembagian kerja.  Keunggulan absolute bisa diperoleh karena adanya perbedaan dalam kepemilikan faktor produksi antara lain  sumberdaya alam, tenaga kerja, modal, teknologi dan entrepreneurship.  Setiap negara akan memperoleh manfaat perdagangan ( gain from trade) karena melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang jika negara tersebut memiliki keunggulan mutlak,  sedangkan untuk produk yang tidak memiliki keunggulan mutlak sebaiknya impor saja.
Dasar pemikiran dari teori ini adalah bahwa suatu negara akan melakukan spesialisasi terhadap ekspor suatu jenis barang tertentu, dimana negara tersebut memiliki keunggulan absolut dan tidak memproduksi atau melakukan impor jenis barang dimana negara lain yang memproduksi barang sejenis. Atau dengan kata lain, suatu negara akan mengekspor (mengimpor) suatu jenis barang, jika negara tersebut tidak dapat memproduksi secara lebih efisien atau murah dibandingkan dengan negara lain. Sehingga teori ini menekankan bahwa efisiensi dalam penggunaan input, misalnya tenaga kerja, dalam proses produksi sangat menentukan keunggulan atau daya saing.
Sebagai contoh, di dunia nyata ada dua negara yaitu Indonesia (INA) dan Amerika Serikat (AS). Kedua negara tersebut sama-sama memproduksi dua jenis barang , yakni barang A (kain) dengan harga Pa dan barang B (Komputer) dengan harga Pb. Tenaga kerja merupakan satu-satunya input yang digunakan untuk memproduksi dua jenis barang tersebut (kain dan  komputer).

Tabel 2.1  Ilustrasi Keunggulan Absolut dari Adam Smith

Negara
Kemungkinan Produksi
DTDN
A (Kain)
B(Komputer)
A/B
B/A
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
INA
90
60
1,50
0,67
AS
50
100
0,50
2,00
Sumber : Tulus Tambunan, 2001
Seperti yang ditunjukkan pada  tabel 2.1, Indonesia dapat memproduksi maksimum 90 unit kain (A) per satu orang tenaga kerja dan atau dapat memproduksi maksimum 60 unit komputer (B) per satu orang tenaga kerja. Rasio ini menunjukkan   bahwa Indonesia lebih baik dalam memproduksi A dibandingkan B. Tingkat produktivitas atau efisiensi dalam penggunaan input (tenaga kerja) di industri A lebih tinggi dibandingkan di industri B. Jika tidak ada perdagangan internasional, dua barang tersebut dapat dipertukarkan di pasar domestik dengan perbandingan sebagai berikut: 1,5 A untuk 1B atau 2/3B untuk 1A. Artinya, biaya alternatif (opportunity cost) untuk membuat 1B adalah dengan mengorbankan 1,5A. Dalam harga relatif  dapat ditulis : (Pb/Pa) INA = 1,5. Misalnya, Pb = 100 maka Pa = 66,6. Perbandingan ini disebut dasar tukar dalam negeri (DTDN). Jadi di Indonesia, B mempunyai harga jual lebih tinggi, karena memproduksi B lebih mahal daripada memproduksi A. Sebaliknya di AS, A mempunyai harga jual lebih tinggi dibandingkan B, karena biaya produksi A lebih mahal daripada biaya produksi B.  Di pasar domestik AS, dasar tukar dalam negeri adalah: 0,5A untuk 1B atau 2B untuk 1A.  Dalam harga relatif dapat ditulis: (Pb/Pa)AS=0,5.  Perbedaan rasio harga(biaya produksi) tersebut menunjukkan bahwa Indonesia memiliki keunggulan absolut atas Amerika Serikat dalam memproduksi kain (A), sebaliknya AS memiliki keunggulan absolut atas Indonesia dalam memproduksi komputer (B).
Terjadinya perdagangan internsional menyebabkan gains from trade masing-masing negara sebagai berikut: (a)  Indonesia memperoleh keuntungan jika menjual (mengekspor) kain (A) ke Amerika Serikat karena 1A dapat ditukar dengan 2B, dibandingkan hanya 2/3B untuk 1A jika tidak ada perdagangan internasional.  Jadi keuntungan Indonesia adalah 1,33B; (b) Amerika Serikat memperoleh keuntungan  jika menjual komputer (B) ke Indonesia, karena 1B akan memperoleh 1,5A, dibandingkan hanya 0,5A untuk 1B jika tidak ada perdagangan internasional. Jadi keuntungan AS adalah 1A.
Dari contoh tersebut diperoleh bahwa (Pb/Pa) AS ¹ (Pb/Pa) INA, atau (Pb) INA ¹ (Pb) AS dan (Pa) INA ¹ (Pa) AS. Perbedaan harga tersebut merupakan syarat terjadinya perdagangan internasional. Jika harga dari jenis barang yang sama tidak berbeda antarnegara, maka tidak ada alasan untuk melakukan perdagangan internasional, atau masing-masing negara tidak akan menikmati manfaat perdagangan internasional (gain from trade) (Tulus Tambunan, 2001 ).
1.3   Teori Keunggulan Komparatif ( Comparative Advantage)
Dalam perkembangan selanjutnya,  disadari bahwa perdagangan yang saling menguntungkan tidak selalu menuntut setiap negara harus memiliki keunggulan absolute dibandingkan mitra dagangnya.  Menurut David Ricardo, sekalipun sebuah negara memiliki keunggulan absolute pada beberapa barang, tetapi selama negara yang lebih lemah memiliki keunggulan komparatif pada produksi salah satu barang, maka perdagangan tetap bisa terjadi.   Teori David Ricardo yang juga dikenal dengan teori cost comparative advantage ( labor efficiency) ini menyatakan bahwa suatu negara akan memperoleh manfaat dari perdagangan internasional jika melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang dimana negara tersebut dapat berproduksi relative lebih efisien serta mengimpor barang jika negara tersebut berproduksi relative kurang/ tidak efisien.
Munculnya teori keunggulan komparatif dari J.S.Mill (1848) dan David Ricardo (1817) dapat dianggap sebagai kritik dan sekaligus upaya perbaikan terhadap teori keunggulan absolut. J.S.Mill beranggapan bahwa suatu negara akan berspesialisasi pada impor jika negara tersebut memiliki kerugian komparatif. Atau, suatu negara akan melakukan ekspor jika barang yang diproduksi dengan biaya sendiri membutuhkan biaya yang lebih besar atau mahal. Sedangkan dasar pemikiran David Ricardo adalah perdagangan antara dua negara akan terjadi jika masing-masing negara memiliki biaya relatif terkecil untuk jenis barang yang berbeda. Sehingga penekanan Ricardo adalah pada efisiensi relatif antara negara dalam memproduksi dua atau lebih jenis barang yang menjadi dasar terjadinya perdagangan internasional.
Sebagai contoh, berdasarkan efisiensi tenaga kerja; di Indonesia untuk memproduksi 1 unit A. seorang pekerja hanya membutuhkan 1 hari kerja dan untuk memproduksi 1 unit B diperlukan 2 hari kerja. Di AS untuk memproduksi 1 unit A dan 1 unit B masing-masing diperlukan waktu 4 dan 3 hari kerja. Atau, berdasarkan produktivitas tenaga kerja, di INA 1 hari kerja dapat menghasilkan 1A dan 1/2B, dan di AS, 1 hari kerja dapat menghasilkan 1/4A dan 1/3B. Seperti dapat dilihat pada tabel 2.2, DTDN di INA adalah 2A untuk 1B atau 0,5B untuk 1A, atau (Pb/Pa)INA = 2, sedangkan DTDN di AS adalah (PPb/Pa)AS = ¾. Jadi di INA  B mempunyai harga jual lebih tinggi dan di AS yang mempunyai harga jual lebih tinggi adalah A.
Tabel 2.2  Ilustrasi Tingkat Efesiensi Tenaga Kerja David Ricardo
Negara
Produksi: jumlah jam kerja per satu unit
Biaya Relatif


A
B

(1)
(2)
(3)
(4)

INA
1(A) INA = 1
1(B) INA = 2
{1(A)/1(B)} INA = ½

AS
1(A) AS = 4
1(B) AS = 3
{1(A)/(B)} AS = 4/3

Sumber : Tulus Tambunan, 2001
Tabel 2.3 Ilustrasi Tingkat Produktivitas Tenaga Kerja David Ricardo
Negara
Produksi: jumlah unit
per satu hari kerja
DTDN


A
B

(1)
(2)
(3)
(4)

INA
1′(A) INA = 1
1′(B) INA = 1/2
(Pb/Pa) INA = 2

AS
1′(A) AS = 1/4
1′(B) AS = 1/3
(Pb/Pa) AS = ¾

Sumber : Tulus Tambunan, 2001

Dari contoh pada tabel 2.2 dan 2.3, dengan teori keunggulan absolut dari Adam Smith, perdagangan antara INA dan AS tidak dapat terjadi karena Indonesia memiliki keunggulan absolut atas Amerika Serikat untuk A dan B, artinya hanya INA yang dapat melakukan ekspor. Jika perdagangan antara kedua negara tersebut tetap dilakukan, misalnya karena AS sangat membutuhkan kain, maka gain from trade hanya dapat dinikmati Indonesia.
Namun David Ricardo menyatakan bahwa perdagangan tetap dapat terjadi dengan penjelasan sebagai berikut: berdasarkan tingkat efisiensi tenaga kerja dalam memproduksi A dan B masing-masing negara (tabel 2.2),selanjutnya dicari untuk barang yamg mana Indonesia (atau AS) lebih unggul terhadap Amerika Serikat (atau INA), dalam arti tingkat efisiensi tenaga kerjanya paling tinggi. Hasil perhitungan efisiensi tenaga kerja relatif dapat dilihat pada tabel 2.4:
Tabel 2.4  Perhitungan Efisiensi Tenaga Kerja Relatif
Negara
Perbandingan Efesiensi Tenaga Kerja


A
B

(1)
(2)
(3)

INA
1(A)INA/1(A)AS = ¼
1(B)INA/1(B)AS = 2/3

AS
1(A)AS/1(A) INA = 4
1(B)AS/1(B)INA = 3/2

Sumber : Tulus Tambunan, 2001
Dari tabel tersebut terlihat bahwa tingkat efisiensi tenaga kerja di Indonesia lebih besar bila dibandingkan dengan AS dalam meproduksi 1 unit A daripada produksi 1 unit B; [1(A)INA/1(A)AS < 1(B)INA/1(B)AS]. Hal ini berarti Indonesia memiliki keunggulan komparatif dalam produksi A. Sebaliknya, tenaga kerja AS lebih efisien dibandingkan tenaga kerja INA dalam memproduksi 1 unit B daripada memproduksi unit A [1(A)AS/1(A)INA > 1(B)AS/1(B)INA]. Hal tersebut berarti AS memiliki keunggulan komparatif dalam produksi B. Berdasarkan perbandingan tersebut, Indonesia dan Amerika Serikat masing-masing akan melakukan spesialisasi produksi dan ekspor barang A dan B.
Jadi dapat disimpulkan, bahwa meskipun Indonesia memiliki keunggulan absolut dibandingkan Amerika Serikat  untuk barang A(kain)  dan barang B (computer), perdagangan Internasional tetap bisa terjadi dan saling menguntungkan keduanya melalui spesialisasi di masing-masing negara jika terdapat perbedaan dalam tingkat efisiensi tenaga kerja  (cost comparative advantage) dan atau produktivitas tenaga kerja. (production comparative advantage).
1.3.   Teori Heckscher-Ohlin (H-O)
Teori Hecksher dan Ohlin (H-O) disebut juga teori proporsi faktor (factor proportion) atau teori ketersediaan faktor (factor endowment). Dasar pemikiran teori ini adalah perdagangan internasional, misalnya antara Indonesia dan Amerika Serikat terjadi karena opportunity cost antara kedua negara tersebut berbeda. Perbedaan biaya alternatif tersebut dikarenakan adanya perbedaan dalam jumlah faktor produksi. Jadi karena factor endowment yang berbeda, maka sesuai hukum pasar harga faktor produksi tersebut juga berbeda antara Indonesia dan Amerika Serikat.
Jadi menurut teori H-O, suatu negara akan berspesialisasi dalam produksi dan ekspor barang-barang yang impor utamanya relatif sangat banyak di negara tersebut, serta impor barang yang input utamanya tidak dimiliki oleh negara tersebut (jumlahnya terbatas). Dalam kasus Indonesia, negara tersebut akan ekspor produk-produk yang padat karya (tetapi dalam kategori unskilled workers) atau padat bahan-bahan baku yang berlimpah di dalam negeri, sepeti minyak, batu bara, dan komoditas-komoditas pertanian (Tulus Tambunan, 2001).
Muatan Teori H-O yang utama adalah: (1) Dalam perdagangan internasional yang melandasi keunggulan komparatif adalah bahwa setiap negara memilki hadiah alam dari Tuhan yang berbeda-beda baik secara kualitas maupun kuantitas, sehingga faktor-faktor produksi tersebut akan memilki distribusi yang tidak merata secara proporsional; (2) Perbedaan kepemilikan faktor produksi oleh setiap negara akan mendorong pemakaian faktor produksi dalam kombinasi yang memilki intensitas yang berlainan.  Setiap negara akan mengekspor barang yang memilki intensitas faktor produksi yang melimpah.
Menurut model neoklasik ini, perdagangan internasional tidak bersumber pada perbedaan tingkat produktivitas atau perkembangan teknologi antar negara, melainkan pada perbedaan kelimpahan atau kekayaan faktor produksi. Negara yang memiliki banyak tenaga kerja akan berspesialisasi pada produksi yang bersifat padat karya terutama komoditi primer, serta mengimpor produk yang menggunakan faktor produksi yang langka di negaranya seperti produk manufaktur yang bersifat padat modal.
Teori ini mendorong negara berkembang untuk memfokuskan pengembangan aneka komoditi primer sebagai andalan ekspor yang nantinya akan ditukarkan dengan produk manufaktur. Sehingga, negara berkembang akan lebih berpeluang dalam mengembangkan perekonomiannnya serta memperoleh keuntungan maksimal dari hubungan perdagangan internasional.
Dalam rumusan model kelimpahan faktor, suatu negara diasumsikan pada awalnya akan beroperasi pada suatu titik tertentu di mana kurva batas kemungkian produksi sangat ditentukan oleh kondisi permintaan domestik.

P                        A    C
rasio harga domestik (Pa/Pm)T
manufaktur                     D                B
rasio harga internasional Īam
pertanian                         P
Gambar 2.1  Kurva Perdagangan Atas Dasar Kelimpahan Faktor
Sumber: Todaro, 2000
Berdasarkan gambar 2.1 , dapat dilihat manfaat yang diperoleh dalam hubungan perdgangan internsional. Kurve di atas menunjukkan batas kemungkinan produksi suatu negara sebelum dan sesudah terlibat dalam hubungan perdagangan internasional. Dengan asumsi adanya penyerapan sumber daya secara penuh (full employment) dan kondisi persaingan sempurna, sebelum ada perdagangan internasional negara tersebut akan mengadakan produksi dan konsumsi di titk A, dengan rasio harga relatif Pa/Pm, yang besarnya ditunjukan oleh kemiringan atau besarnya sudut perpotongan antara garis putus-putus (Pa/Pm)T serta garis lengkung tepat di titk A. Setelah terjadi perdagangan internasional, negara tersebut akan berproduksi sampai titik B pada kurva batas kemungkinan produksinya, di mana biaya produk relatifnya sama dengan harga relatif dunia. Nagara ini bisa berdagang sepanjang Īam atau garis harga internasional dengan mengekspor produk pertanian sebesar BD guna memperoleh produk manufaktur (mengimpor) sebesar DC, sehingga masyarakat negara tersebut bisa mencapai titik konsumsi yang lebih tinggi di tititk C, ini menunjukkan peningkatan kesejahteraan di negara tersebut.
Dengan demikian, perdagangan internasional dapat memperbaiki alokasi sumber daya sehingga menjadi lebih efisien melalui spesialisasi produksi dan ekspor komoditi yang menyerap banyak faktor produksi yang banyak dan berlimpah di negara tersebut, serta dapat mengatasi kekurangan faktor produksi tertentu melalui kegiatan impor dari negara lain
Kesimpulan penting dari model tersebut adalah: (a) setiap negara cenderung berfokus atau berspesialisasi pada kegiatan produksi yang keunggulan komparatifnya dikuasai (artinya Negara tersebut memiliki sumberdaya yang dibutuhkan untuk menghasilkan komoditi itu dalam jumlah yang melimpah.  Sebaliknya Negara tersbut akan mengimbangi kelangkaan kelangkaan sumberdaya tertentu dengan cara mengimpor.(b) setiap negara di dunia memperoleh kesempatan untuk memperbesar batas-batas kemungkinan produksinya (production possibility curve) sekaligus menjamin terpenuhinya kebutuhan konsumsi dari produk impor.  Kondisi ini diyakini mampu merangsang pertumbuhan ekonomi suatu negara. (Todaro, 2000).
1.4. Competitive Advantage of Nation
Menurut M Porter, dalam era persaingan global saat ini, suatu negara yang memiliki competitive advantage of nation dapat bersaing di pasar internasional bila memiliki 4 (empat) faktor penentu yaitu:
1.  Factor Conditions
Faktor conditions adalah sumber daya (resources) yang dimiliki oleh suatu   negara yang terdiri atas lima kategori berikut ini.
a.                   Human resources (SDM)
b.                  Physical resources (SDA)
c.            Knowledge resources (IPTEK)
d.           Capital resources (Permodalan) atau (SDC)
e.            Infrastructure resources (Prasarana) atau (SDI)
2. Demand conditions
Permintaan merupakan salah satu faktor penting sebagai penentu keunggulan daya saing atau competitive advantage suatu bangsa/perusahaan produk atau jasa yang dihasilkannya. Adapun yang dimaksud dengan “demand conditions” tersebut terdiri atas:
a.        Composition of home demand
b.        Size and pattern of growth of hoine demand
a.                   Rapid home market growth
b.                  Trend of international demand
3.  Related and Supporting Industry
Untuk menjaga dan memelihara kelangsungan keunggulan daya saing, maka perlu selalu dijaga keberadaan industri pemasok industri terkait, terutama dalam menjaga dan memelihara value chain.
4.  Firm Strategy, Structure and Rivalry
Strategi perusahaan, struktur organisasi dan modal perusahaan, serta kondisi persaingan/rivalry di dalam negeri merupakan faktor-faktor yang akan menentukan dan mem­pengaruhi competitive advantage perusahaan. Rivalry yang berat di dalam negeri biasanya justru akan lebih mendorong perusahaan untuk melakukan pengembangan produk dan teknologi, peningkatan produktivitas, efisiensi dan etektifitas, serta peningkatan kualitas produk dan pelayanan.
Selain keempat factor penentu dalam tingkat persaingan internasional tersebut, keunggulan kompetitif nasional juga dipengaruhi oleh faktor kebetulan ( penemuan baru, kerubahan kurs, konflik keamanan) dan tindakan-tindakan atau kebijakan pemerintah.  Faktor luar lainnya yang penting dan sangat menentukan secara eksternal adalah factor sumberdaya manusia yang dibagi mnenjadi dua, yaitu sistem pemerintahan (goverment) dan terdapatnya akses dan kesempatan dalam melakukan sesuatu hal, yaitu perubahan( Hamdy Hady, 2001).
1.5.   Hyper Competitive ( Richard D’Aveni)
Proses liberalisasi perdagangan dunia, baik secara regional maupun internasional yang berlangsung hingga saat ini, telah menyebabkan persaingan global yang semakin ketat, bahkan menuju kepada “hyper conmpetitive”. Hal ini dibuktikan antara lain oleh adanya persaingan dan ancaman dari Korea, Taiwan, Singapura, dan lain-lain. Persaingan dan ancaman tersebut dihadapi oleh industri elektronik dan otomotif Jepang, AS dan Eropa yang selama ini menguasai pasar dunia.
Selain itu, persaingan yang sangat ketat juga terjadi di antara sesama negara yang sedang berkembang (NSB), khususnya untuk produk-produk industri ringan seperti tekstil dan produk tekstil (TPT), sepatu, agro industri, dan lain-lain.
Kondisi persaingan global yang “hyper competitive” tersebut memaksa setiap negara/perusahaan untuk memikirkan/ menemukan suatu strategi yang tepat. Strategi yang tepat tersebut berupa perencanaan dan kegiatan operasional terpadu yang mengkaitkan lingkungan eksternal dan internal, sehingga dapat mencapai tujuan jangka pendek dan jangka panjang dengan disertai keberhasilan dalam mempertahankan/meningkatkan “sustainablereal income secara efektif dan efisien. Strategi ini dikenal atau disebut sebagai “Sustainable Competitive Advantage ” atau SCA yaitu “keunggulan daya saing berkelanjutan” (terus menerus). Akan tetapi, menurut Richard D’Aveni (1994), pada situasi “hypercompetitive’“, tidak ada lagi perusahaan/negara yang dapat memiliki “keunggulan daya saing berkelanjutan” atau SCA.
Sehubungan dengan pendapat Richard D’Aveni ini, perlu dikemukakan beberapa catatan (H. Hady, 2004) sebagai berikut.:
Pada situasi “hypercompetititve“, keunggulan daya saing suatu perusahaan/negara tetap didasarkan kepada keunggulan kompetitif dinamis, walaupun dengan periode/jangka waktu yang relatif pendek. Beberapa catatan penting dari teori ini adalah: (1) Pengertian SCA atau keunggulan daya saing berkelanjutan harus diartikan sebagai keunggulan yang diperoleh karena invention dan innovation secara terus-menerus, sehingga tetap unggul dari pesaing; (2) Invention dan innovation diperoleh dari hasil research & development, baik yang bersifat scientific maupun applied; (3)“Sustainable cornpetitive advantage” ini relatif lebih tepat dan paling menguntungkan untuk dilakukan dalam sektor agro industri karena sumber atau resource base-nya dapat diperbaharui atau renewable. “Sustainable cornpetitive advantage”, yang diperoleh melalui Invention dan Innovation
Gambar: 2.2.  Sustainable  Competitif Advantage
Sumber: Hamdy Hady, 2004
Dengan demikian, selama suatu negara masih memiliki sustainable competitive advnntage, maka negara tersebut akan dapat terus mengekspor produknya, dan tentunya akan lebih baik untuk mengimpor produk lainnya.
1.6.  Competitive Liberalization
Keinginan masing-masing negara untuk dapat bekerja secara produktif, efisien, dan efektif agar dapat besaing di pasar global pada dekade terakhir ini, telah mendorong terjadinya “competitive liberazation” terutama di kawasan Asia Pasifik,. Khususnya di bidang pedagangan dan investasi.
Competitive liberazation” atau “pesaingan liberalisasi” ini dilakukan karena masing-masing negara berusaha untuk membuat situasi dan kondisi ekonominya menjadi menarik/favorable bagi investor/penanaman modal asing. (H. Hady, 2004)
Persaingan liberalisasi yang dilakukan oleh masing-masing negara yang didasarkan pada “comparative advantage” dinamis dan atau competitive advangate menurut diagram “diamond” Porter’s akan menyebabkan suatu negara dapat mengekspor atau lebih baik mengimpor produk tertentu. Sebaliknya, negara lain lebih balk mengimpor dan mengekspor produk tertentu, sehingga akan terjadi perdagangan internasional yang menguntungkan bagi masing-masing negara.
2.    Definisi dan Ruang Lingkup Ekspor
Definisi ekspor adalah:
1.      Kegiatan mengeluarkan barang dari daerah pabean sesuai peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.  Daerah Pabean adalah:  Wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan dan ruang angkasa diatasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan landasan kontinen yang didalamnya berlaku Undang-Undang Nomor 10 tahun 1995, tentang Kepabeanan( SK Menperindag No. 146/MPP/IV/1999).
2.      Kegiatan jual beli yang dilakukan dengan negara/bangsa lain dengan pembayaran valuta asing (Amir MS, 2000)
3.      Perdagangan dengan cara mengeluarkan barang dari dalam ke luar wilayah pabean Indonesia dengan memenuhi ketentuan yang berlaku (R. Hutabarat, 1994).
Guna memahami proses transaksi ekspor, berikut ini akan diuraikan    empat tahapan  international trade process yang mencakup: (a) Sale’s contract Process; (b) Letter of Credit Opening Process; (c) Cargo Shipment Process; (d) Shipping Documents Negotiation Process.

a.  SALE’S CONTRACT PROCESS

1.         Eksportir mempromosikan komoditas yang diekspornya melalui media promosi seperti pameran dagang, iklan di koran, majalah, radio, maupun televisi, baik di luar negeri maupun di dalam negeri, atau melalui badan-badan khusus urusan promosi ekspor seperti Badan Pengembangan Ekspor Nasional (BPEN). Lembaga Penunjang Ekspor (LPE). Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin Indonesia), Atase Perdagangan RI di tiap Kedutaan Besar RI di luar negeri. Atase Perdagangan asing di tiap kedutaan besar asing yang ada di Jakarta, Kamar Dagang dan Industri negara asing di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia seperti American Chamber of Commerce (AMCHAM). China External Trade Asso­ciation (CETRA), Japan External Trade Orgunization (JETRO), Korean Trade Agency (KOTRA) dan lain-lain. Tujuan promosi adalah untuk menarik minat calon importir terhadap komoditas yang akan diekspor.
2.      Importir yang berminat mengirimkan surat permintaan harga atau Letter of Inquiry kepada eksportir. Letter of Inquiry lazimnya berisikan permintaan penawaran harga dengan memberitahukan mutu harang yang diinginkan, kuantum yang ingin dibeli, harga satuan dan total harga dalam valuta asing (US$ atau lainnya), waktu pengiriman (shipment date), nama pelabuhan tujuan yang diingini.
3.      Eksportir memenuhi permintaan importir dengan mengirimkan surat penawaran harga yang lazim disebut dengan Offersheet. Offersheet berisikan keterangan sesuai permintaan importir, seperti uraian barang, mutu, kuantum, waktu penyerahan, harga dan tempat penyerahan barang, syarat pembayaran, waktu pengapalan, cara pengepakan barang, brosur, dan bila perlu contoh barang yang ditawarkan. Penawaran itu juga menyebutkan apakah penawaran bersifat free offer ataukah firm offer.
4.   Importir, setelah mempelajari dengan saksama offersheet dari eksportir, menempatkan surat pesanan dalam bentuk ordersheet atau purchase order kepada eksportir.
5.   Eksportir menyiapkan kontrak jual beli ekspor (sale’s contrac) sesuai dengan data dari offersheet dan ordersheet ditambah keterangan seperti force majeur clause, klaim, syarat pengapalan seperti partial shipment, transhipment, vessel age, dan lain-lain. Kontrak tersebut ditandatangani oleh eksportir dan dikirimkan kepada importir untuk ditandatangani pula sebagai tanda persetujuan atas sale’s contract itu. Lazimnya sale’s contract dibuatkan dalam rangkap dua (two original)
6.      Importir mempelajari sale’s contract dengan saksama, dan bila menyetujuinya kemudian ia menandatangani dan mengembalikan kepada eksportir. Satu original copy ditahan oleh importir sebagai dokumen asli transaksi yang lazim disebut sebagai sale’s confirmation. Kedua sale’s confirmation yang asli ini mempunyai kekuatan hukum yang sama.
b.  L/C OPENING PROCESS
1. Importir meminta kepada bank devisanya untuk membuka sebuah Letter of Credit (L/C) sebagai dana yang dipersiapkan untuk melunasi hutangnya kepada eksportir, sejumlah yang disepakati dalam sale’s contract dan sesuai dengan syarat-syarat pencairan yang disebut dalam sale’s contract dan merujuk pada ketentuan dari The Uniform Customs and Practice of Document Letter of Credit dari Kamar Dagang Internasional. Paris no. 500 atau UPC-DC-500. L/C yang dibuka adalah untuk dan atas nama eksportir atau orang atau badan usaha lain yang ditentukan eksportir, sesuai kesepakatan dalam sale’s contract. Bank devisa yang diminta importir membuka L/C itu disebut open­ing bank. Opening bank inilah yang bertanggung jawab melakukan pembayaran atas L/C itu kepada eksportir penerima L/C. Importir yang meminta pembukaan L/C disebut aplicant.
2.      Opening bank setelah menyelesaikan jaminan dana L/C dengan importir, melakukan pembukaan L/C melalui bank korespondennya di negara eksportir. Pembukaan L/C dilakukan dengan surat, kawat, teleks, faksimili, atau media elektronik lainnya yang sah. Penegasan pembukaan L/C dalam bentuk tertulis itu disebut L/C confirmation yang diteruskan oleh opening bank kepada bank korespondennya untuk disampaikan kepada penerima, yaitu eksportir yang disebut dalam surat itu.
Bank koresponden yang diminta opening bank untuk menyampaikan amanat pembukaan L/C disebut advising bank.
3.      Advising bank setelah meneliti keabsahan amanat pembukaan L/C yang diterimanya dari opening bank meneruskan amanat pembukaan L/C itu kepada eksportir yang berhak menerima dengan surat pengantar dari advising bank. Surat pengantar itu disebut L/C Ad­vise, sedangkan eksportir penerima L/C disebut sebagai beneficiery dari L/C itu. Bila advising bank diminta dengan tertulis oleh open­ing bank untuk turut menjamin pembayaran atas L/C tersebut, maka advising bank juga disebut sebagai confirming bank.

Gambar 2.3. Letter of Credit Opening Process
Sumber: Amir MS (2003)
c. CARGO SHIPMENT PROCESS
1. Eksportir setelah menerima L/C confirmation yang sifatnya operatif (sah sebagai landasan pembayaran) kemudian mempersiapkan barang ready for export, melakukan booking atau memesan ruangan/tempat kepada perusahaan pelayaran (shipping company) yang kapalnya akan berangkat ke pelabuhan tujuan yang dimaksud dalam sale’s contract serta sesuai dengan waktu pengapalan (shipment date) yang disepakati dalam sale’s contract tersebut.  Eksportir kemudian mengurus formalitas ekspor seperti mengisi pemberitahuan ekspor barang, membayar Pajak Ekspor (PE) dan Pajak Ekspor Tambahan (PET) melalui advising bank, mengurus izin muat kepada Kantor Inspeksi Bea dan Cukai di pelabuhan rnuat. Setelah semua formalitas ekspor selesai, eksportir menyerahkan barang kepada perusahaan pelayaran (shipping company) untuk dimuat pada waktu yang disepakati.
2. Shipping conpany, setelah selesai melakukan pemuatan barang ke atas kapal, menyerahkan bukti penerimaan barang, bukti kontrak angkutan, dan bukti pemilikan barang dalam bentuk Bill of Lading atau transport document lainnya kepada eksportir yang dalam pengangkutan ini disebut sebagai shipper.
3.  Shipping company selanjutnya bertanggung jawab mengangkut muatan itu sampai ke pelabuhan tujuan, serta menyerahkannya dengan selamat dan utuh kepada penerima barang yang disebut dalam B/L di pelabuhan tujuan (destination port) yang juga disebutkan dalam B/L itu.
4. Importir selaku penerima barang (consignee), bila telah menerima dokumen pengapalan (shipping document) dari opening bank, mengurus izin impor (import clearance) kepada pihak Bea Cukai di pelabuhan tujuan. Kemudian importir menghubungi agen pelayaran (shipping agent) di pelabuhan tujuan di negaranya untuk menerima muatan itu.
5. Shipping agent menyerahkan muatan kepada importir segera setelah pelunasan biaya yang menjadi hak shipping agent bersangkutan. Dengan ini maka selesailah proses penerimaan barang oleh importir.
Gambar 2.4.  Cargo Shipment Process
Sumber: Amir MS (2003)

d.  SHIPPING DOCUMENTS NEGOTIATION PROCESS
1.      Eksportir, setelah menerima Bill of Lading dari perusahaan pelayaran, menyiapkan semua dokumen pengapalan yang di­syaratkan dalam Letter of Credit seperti faktur, daftar pengepakan, sertifikasi mutu, Surat Keterangan negara Asal (SKA) dan lain sebagainya seperti wesel (draft) serta surat pengantar negosiasi dokumen secara lengkap dan cermat. Semua dokumen pengapalan itu diserahkan eksportir kepada negotiating bank yang ditentukan dalam L/C untuk memperoleh pembayaran (payment).
2.      Negotiating bank meneliti dengan saksama semua dokumen pengapalan yang diminta dalam syarat-syarat L/C. Bila semua cocok baik jumlah, jenis, maupun uraian sebagaimana yang dituntut oleh L/C, maka negotiating bank akan membayarkan jurnlah yang ditagih oleh eksportir dari dana L/C yang tersedia.
3.      Negotiating bank meneruskan dokumen pengapalan yang sudah dilunasi itu kepada opening bank yang membuka L/C bersangkutan sebagai penagihan kembali uang yang sudah dibayarkan oleh nego­tiating bank tersebut kepada eksportir.
4.  Opening bank memeriksa dengan saksama semua dokumen pengapalan itu. dan bila ternyata sesuai dengan syarat-syarat L/C yang dibuka maka opening bank kemudian melunasi uang yang sudah dibayarkan oleh negotiating bank. Pembayaran pelunasan kembali ini disebut sebagai reimbursement.
5. Opening bank selanjutnya memberitahukan penerimaan dokumen pengapalan itu kepada importir. Importir akan mengambil dokumen pengapalan itu kepada opening bank dan menyelesaikan pelunasan dokumen pengapalan tersebut dengan opening bank bersangkutan. Setelah itu opening bank akan menyerahkan seluruh dokumen pengapalan itu kepada importir untuk dipergunakan menerima barang bersangkutan dari perusahaan pelayaran dan Bea Cukai setempat.