Senin, 21 Februari 2011

Evolusi Perdangan Internasional


Evolusi/ Perkembangan Teori Perdagangan Internasional

Karena setiap negara berbeda dengan negara lainnya ditinjau dari sudut sumber alamnya, iklimnya, letak geografisnya, penduduk, keahliannya, tenaga kerja, tingkat harga, keadaan stuktur ekonomi dan sosialnya. Hal ini memungkinkan karena ada barang yang hanya  dapat diproduksi di daerah dan iklim tertentu, atau karena suatu negera mempunyai kombinasi faktor-faktor produksi lebih baik dari negara lainnya, sehingga negara itu dapat menghasilkan barang yang lebih dapat bersaing. Adakala produksi dari suatu negara belum dapat dikonsumsi seluruhnya di dalam negeri, maka hal ini semenjak berabad-abad yang lalu telah mendorong orang untuk memperdagangkan hasil produksi itu ke negara lainnya diluar batas negaranya (Amir M.S, 2000).
Bagi banyak negara, termasuk Indonesia, perdagangan internasional, khususnya ekspor, mempunyai peranan sangat penting sebagai motor penggerak perekonomian nasional.  Ekspor akan menghasilkan devisa, selanjutnya dapat digunakan untuk membiayai impor dan pembangunan sektor-sektor ekonomi di dalam negeri.   Secara teoritis (hipotesis), dengan adanya pertumbuhan ekspor maka akan terjadi peningkatan cadangan devisa, pertumbuhan output di dalam negeri, peningkatan kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat serta terjadinya pertumbuhan Produk Domestik Bruto ( Tulus Tambunan, 2001).
Para ekonom seperti Haberler, telah mengemukakan keuntungan-keuntungan perdagangan internasional bagi pembangunan ekonomi negara-negara berkembang dewasa ini. Adapun keuntungan-keuntungan antara lain adalah (Salvatore, 1997):
a.       Perdagangan dapat meningkatkan pendayagunaan sumber-sumber daya domestik di suatu negara berkembang. Artinya melalui hubungan perdagangan internasional, suatu negara berkembang dapat beranjak dari titik produksinya tidak efisien (titik-titik yang terletak di bawah kurva batas kemungkinan produksi), dan memanfaatkan sumber daya yang semula tidak bisa diserap oleh pasar domestik.
b.      Melalui peningkatan ukuran pasar, perdagangan internasional juga dapat menciptakan pembagian kerja dan skala ekonomis (economies of scale) yang lebih tinggi.
c.       Perdagangan internasional juga berfungsi sebagai wahana transmisi gagasan-gagasan baru, teknologi yang lebih baik, serta kecakapan manajerial dan bidang-bidang keahlian lainnya yang diperlukan bagi kegiatan bisnis.
d.      Perdagangan antar negara juga merangsang dan memudahkan mengalirnya arus modal internasional dari negara maju ke negara berkembang.
e.       Perdagangan internasional merupakan instrumen yang efektif untuk mencegah monopoli karena perdagangan pada dasarnya akan merangsang peningkatan efisiensi setiap produsen domestik agar mampu menghadapi persaingan dari negara lain.
Pada dasarnya, perdagangan internasional bisa terjadi apabila kedua belah pihak memperoleh manfaat atau keuntungan dalam perdagangan tersebut ( gains from trade).  Perdagangan internasional menciptakan keuntungan dengan memberikan peluang pada setiap negara untuk mengekspor  barang-barang yang faktor produksinya menggunakan sebagian sumberdaya yang berlimpah dan mengimpor barang-barang yang faktor produksinya langka atau mahal jika diproduksi di dalam negerinya.  Perdagangan internasional juga memungkinkan setiap negara melakukan spesialisasi produksi terbatas pada barang-barang tertentu sehingga memungkinkan dicapai tingkat efisiensi yang lebih tinggi dengan skla produksi yang lebih besar.
Evolusi/ perkembangan teori-teori  perdagangan internasional dapat dikelompokkan sebagai berikut: (1)  Teori Pra Klasik: Mrekantilisme;(2) Teori Klasik : Adam Smith, David Ricardo; (3) Teori Modern: Heckscher-Ohlin; (4) Alternative Theory:  M Porter, R. D’ Aveni, dll. Penjabaran masing masing teroti perdagangan internasional adalah sebagai berikut:
1. 1   Teori Merkantilisme
Istilah merkantilisme berasal dari kata “merchant“  yang berarti pedagang.  Menurut paham merkantilisme, tiap negara yang berkeinginan untuk maju harus melakukan perdagangan dengan negara lain.  Sumber kekayaan negara akan diperoleh melalui surplus perdagangan di luar negeri yang akan diterima dalam bentuk logam mulia.
Aliran merkentilisme yang tumbuh dan berkembang pada abad XVI-XVIII di Eropa Barat, menempatkan kegiatan perdagangan internasional, khususnya ekspor, sebagai lokomotif utama yang dipacu melalui peningkatan industri di dalam negeri.  Ide pokok  merkantilisme adalah sebagai berikut: (Hamdy Hadi: 2004)
a.  Suatu negara akan kaya/ makmur dan kuat bila ekspor lebih besar dari impor
a.       Surplus yang diperoleh dari selisish  (X-M) atau ekspor netto yang positif  tersebut ditunjukkan dengan semakin banyaknya logam mulia ( sebagai alat pembayaran/ uang ) yang dimiliki negara
b.      Logam mulia yang melimpah digunakan oleh negara/raja untuk  memperluas perdagangan di luar negeri dengan kolonisasi (penjajahan).
Merkantilisme menitikberatkan pada 2 (dua) kebijakan penting yakni: (1) Kebijakan merkantilisme dalam usaha untuk memperoleh monopoli perdagangan, monopoli perdagangan tersebut dapat diperoleh dengan memilki armada perdagangan/ armada perang yang kuat; (2) Kebijakan lanjutan adalah uasaha untuk memperoleh daerah-daerah jajahan yang dilakukan melalui ekspansi perdagangan dan penaklukan/penundukan daerah -daerah baru di Amerika, Afrika dan Asia.  Daerah/negara jajahan ini dijadikan sebagai sumber bahan baku dan sekaligus pasar,  sekaligus sebagai sumber langsung logam mulia.  Negara jajahan menjadi sangat tergantung pada negara penjajah. (Lia Amalia, 2007).
Merkantilisme pada prinsipnya harus memperbesar ekspor dan membatasi impor seketat mungkin , sehingga memperoleh surplus perdagangan.  Disamping itu, merkentilisme menerapkan tarif impor yang relatif tinggi untuk mengurangi persaingan barang-barang dari luar negeri terhadap produksi nasional (Sobri, 1986).
Kritik David Hume terhadap merkentilisme adalah sebagai berikut:  Kekayaan / kemakmuran suatu negara yang diukur dari banyaknya logam mulia tidak sepenuhnya benar.  Logam mulia (yang pada waktu itu digunakan sebagai alat pembayaran/uang), maka jika logam mulia banyak berarti Money Supply atau jumlah uang beredar banyak. Jika jumlah uang beredar banyak sedangkan produksi tetap/tidak berubah maka akan terjadi inflasi atau kenaikan harga. Inflasi akan menaikkan harga barang-barang ekspor sehingga kuantitas ekspor menurun.  Sementara harga barang  impor menjadi lebih rendah sehingga impor meningkat.  Dengan demikian impor akan lebih besar dari ekspor ( terjadi defisit) yang menyebabkan logam mulia yang dimilki akan berkurang.
Kebijakan Merkantilisme pada saat ini masih dijalankan oleh banyak negara (termasuk negara-negara maju), yaitu kebijakan proteksi untuk melindungi dan mendorong ekonomi dan industri dalam negeri dengan banyak menggunakan hambatan non- tarif (non-tariff barier) seperti: penerapan syarat-syarat dan sertifikasi tertentu, ketentuan teknis, peraturan kesehatan/karantina, dikaitkan dengan isu-isu lingkungan hidup, hak asasi manusia dan lain-lain (Hamdy Hadi, 2004).
1.2    Teori Keunggulan Mutlak (Absolute Advantage)
Menurut teori Keunggulan Absolut yang dikemukakan Adam Smith, bahwa perdagangan internasional akan terjadi jika setiap Negara mampu memprodukdi barang tertentu secara lebih efisien daripada negara lain melalui spesialisasi dan pembagian kerja.  Keunggulan absolute bisa diperoleh karena adanya perbedaan dalam kepemilikan faktor produksi antara lain  sumberdaya alam, tenaga kerja, modal, teknologi dan entrepreneurship.  Setiap negara akan memperoleh manfaat perdagangan ( gain from trade) karena melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang jika negara tersebut memiliki keunggulan mutlak,  sedangkan untuk produk yang tidak memiliki keunggulan mutlak sebaiknya impor saja.
Dasar pemikiran dari teori ini adalah bahwa suatu negara akan melakukan spesialisasi terhadap ekspor suatu jenis barang tertentu, dimana negara tersebut memiliki keunggulan absolut dan tidak memproduksi atau melakukan impor jenis barang dimana negara lain yang memproduksi barang sejenis. Atau dengan kata lain, suatu negara akan mengekspor (mengimpor) suatu jenis barang, jika negara tersebut tidak dapat memproduksi secara lebih efisien atau murah dibandingkan dengan negara lain. Sehingga teori ini menekankan bahwa efisiensi dalam penggunaan input, misalnya tenaga kerja, dalam proses produksi sangat menentukan keunggulan atau daya saing.
Sebagai contoh, di dunia nyata ada dua negara yaitu Indonesia (INA) dan Amerika Serikat (AS). Kedua negara tersebut sama-sama memproduksi dua jenis barang , yakni barang A (kain) dengan harga Pa dan barang B (Komputer) dengan harga Pb. Tenaga kerja merupakan satu-satunya input yang digunakan untuk memproduksi dua jenis barang tersebut (kain dan  komputer).

Tabel 2.1  Ilustrasi Keunggulan Absolut dari Adam Smith

Negara
Kemungkinan Produksi
DTDN
A (Kain)
B(Komputer)
A/B
B/A
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
INA
90
60
1,50
0,67
AS
50
100
0,50
2,00
Sumber : Tulus Tambunan, 2001
Seperti yang ditunjukkan pada  tabel 2.1, Indonesia dapat memproduksi maksimum 90 unit kain (A) per satu orang tenaga kerja dan atau dapat memproduksi maksimum 60 unit komputer (B) per satu orang tenaga kerja. Rasio ini menunjukkan   bahwa Indonesia lebih baik dalam memproduksi A dibandingkan B. Tingkat produktivitas atau efisiensi dalam penggunaan input (tenaga kerja) di industri A lebih tinggi dibandingkan di industri B. Jika tidak ada perdagangan internasional, dua barang tersebut dapat dipertukarkan di pasar domestik dengan perbandingan sebagai berikut: 1,5 A untuk 1B atau 2/3B untuk 1A. Artinya, biaya alternatif (opportunity cost) untuk membuat 1B adalah dengan mengorbankan 1,5A. Dalam harga relatif  dapat ditulis : (Pb/Pa) INA = 1,5. Misalnya, Pb = 100 maka Pa = 66,6. Perbandingan ini disebut dasar tukar dalam negeri (DTDN). Jadi di Indonesia, B mempunyai harga jual lebih tinggi, karena memproduksi B lebih mahal daripada memproduksi A. Sebaliknya di AS, A mempunyai harga jual lebih tinggi dibandingkan B, karena biaya produksi A lebih mahal daripada biaya produksi B.  Di pasar domestik AS, dasar tukar dalam negeri adalah: 0,5A untuk 1B atau 2B untuk 1A.  Dalam harga relatif dapat ditulis: (Pb/Pa)AS=0,5.  Perbedaan rasio harga(biaya produksi) tersebut menunjukkan bahwa Indonesia memiliki keunggulan absolut atas Amerika Serikat dalam memproduksi kain (A), sebaliknya AS memiliki keunggulan absolut atas Indonesia dalam memproduksi komputer (B).
Terjadinya perdagangan internsional menyebabkan gains from trade masing-masing negara sebagai berikut: (a)  Indonesia memperoleh keuntungan jika menjual (mengekspor) kain (A) ke Amerika Serikat karena 1A dapat ditukar dengan 2B, dibandingkan hanya 2/3B untuk 1A jika tidak ada perdagangan internasional.  Jadi keuntungan Indonesia adalah 1,33B; (b) Amerika Serikat memperoleh keuntungan  jika menjual komputer (B) ke Indonesia, karena 1B akan memperoleh 1,5A, dibandingkan hanya 0,5A untuk 1B jika tidak ada perdagangan internasional. Jadi keuntungan AS adalah 1A.
Dari contoh tersebut diperoleh bahwa (Pb/Pa) AS ¹ (Pb/Pa) INA, atau (Pb) INA ¹ (Pb) AS dan (Pa) INA ¹ (Pa) AS. Perbedaan harga tersebut merupakan syarat terjadinya perdagangan internasional. Jika harga dari jenis barang yang sama tidak berbeda antarnegara, maka tidak ada alasan untuk melakukan perdagangan internasional, atau masing-masing negara tidak akan menikmati manfaat perdagangan internasional (gain from trade) (Tulus Tambunan, 2001 ).
1.3   Teori Keunggulan Komparatif ( Comparative Advantage)
Dalam perkembangan selanjutnya,  disadari bahwa perdagangan yang saling menguntungkan tidak selalu menuntut setiap negara harus memiliki keunggulan absolute dibandingkan mitra dagangnya.  Menurut David Ricardo, sekalipun sebuah negara memiliki keunggulan absolute pada beberapa barang, tetapi selama negara yang lebih lemah memiliki keunggulan komparatif pada produksi salah satu barang, maka perdagangan tetap bisa terjadi.   Teori David Ricardo yang juga dikenal dengan teori cost comparative advantage ( labor efficiency) ini menyatakan bahwa suatu negara akan memperoleh manfaat dari perdagangan internasional jika melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang dimana negara tersebut dapat berproduksi relative lebih efisien serta mengimpor barang jika negara tersebut berproduksi relative kurang/ tidak efisien.
Munculnya teori keunggulan komparatif dari J.S.Mill (1848) dan David Ricardo (1817) dapat dianggap sebagai kritik dan sekaligus upaya perbaikan terhadap teori keunggulan absolut. J.S.Mill beranggapan bahwa suatu negara akan berspesialisasi pada impor jika negara tersebut memiliki kerugian komparatif. Atau, suatu negara akan melakukan ekspor jika barang yang diproduksi dengan biaya sendiri membutuhkan biaya yang lebih besar atau mahal. Sedangkan dasar pemikiran David Ricardo adalah perdagangan antara dua negara akan terjadi jika masing-masing negara memiliki biaya relatif terkecil untuk jenis barang yang berbeda. Sehingga penekanan Ricardo adalah pada efisiensi relatif antara negara dalam memproduksi dua atau lebih jenis barang yang menjadi dasar terjadinya perdagangan internasional.
Sebagai contoh, berdasarkan efisiensi tenaga kerja; di Indonesia untuk memproduksi 1 unit A. seorang pekerja hanya membutuhkan 1 hari kerja dan untuk memproduksi 1 unit B diperlukan 2 hari kerja. Di AS untuk memproduksi 1 unit A dan 1 unit B masing-masing diperlukan waktu 4 dan 3 hari kerja. Atau, berdasarkan produktivitas tenaga kerja, di INA 1 hari kerja dapat menghasilkan 1A dan 1/2B, dan di AS, 1 hari kerja dapat menghasilkan 1/4A dan 1/3B. Seperti dapat dilihat pada tabel 2.2, DTDN di INA adalah 2A untuk 1B atau 0,5B untuk 1A, atau (Pb/Pa)INA = 2, sedangkan DTDN di AS adalah (PPb/Pa)AS = ¾. Jadi di INA  B mempunyai harga jual lebih tinggi dan di AS yang mempunyai harga jual lebih tinggi adalah A.
Tabel 2.2  Ilustrasi Tingkat Efesiensi Tenaga Kerja David Ricardo
Negara
Produksi: jumlah jam kerja per satu unit
Biaya Relatif


A
B

(1)
(2)
(3)
(4)

INA
1(A) INA = 1
1(B) INA = 2
{1(A)/1(B)} INA = ½

AS
1(A) AS = 4
1(B) AS = 3
{1(A)/(B)} AS = 4/3

Sumber : Tulus Tambunan, 2001
Tabel 2.3 Ilustrasi Tingkat Produktivitas Tenaga Kerja David Ricardo
Negara
Produksi: jumlah unit
per satu hari kerja
DTDN


A
B

(1)
(2)
(3)
(4)

INA
1′(A) INA = 1
1′(B) INA = 1/2
(Pb/Pa) INA = 2

AS
1′(A) AS = 1/4
1′(B) AS = 1/3
(Pb/Pa) AS = ¾

Sumber : Tulus Tambunan, 2001

Dari contoh pada tabel 2.2 dan 2.3, dengan teori keunggulan absolut dari Adam Smith, perdagangan antara INA dan AS tidak dapat terjadi karena Indonesia memiliki keunggulan absolut atas Amerika Serikat untuk A dan B, artinya hanya INA yang dapat melakukan ekspor. Jika perdagangan antara kedua negara tersebut tetap dilakukan, misalnya karena AS sangat membutuhkan kain, maka gain from trade hanya dapat dinikmati Indonesia.
Namun David Ricardo menyatakan bahwa perdagangan tetap dapat terjadi dengan penjelasan sebagai berikut: berdasarkan tingkat efisiensi tenaga kerja dalam memproduksi A dan B masing-masing negara (tabel 2.2),selanjutnya dicari untuk barang yamg mana Indonesia (atau AS) lebih unggul terhadap Amerika Serikat (atau INA), dalam arti tingkat efisiensi tenaga kerjanya paling tinggi. Hasil perhitungan efisiensi tenaga kerja relatif dapat dilihat pada tabel 2.4:
Tabel 2.4  Perhitungan Efisiensi Tenaga Kerja Relatif
Negara
Perbandingan Efesiensi Tenaga Kerja


A
B

(1)
(2)
(3)

INA
1(A)INA/1(A)AS = ¼
1(B)INA/1(B)AS = 2/3

AS
1(A)AS/1(A) INA = 4
1(B)AS/1(B)INA = 3/2

Sumber : Tulus Tambunan, 2001
Dari tabel tersebut terlihat bahwa tingkat efisiensi tenaga kerja di Indonesia lebih besar bila dibandingkan dengan AS dalam meproduksi 1 unit A daripada produksi 1 unit B; [1(A)INA/1(A)AS < 1(B)INA/1(B)AS]. Hal ini berarti Indonesia memiliki keunggulan komparatif dalam produksi A. Sebaliknya, tenaga kerja AS lebih efisien dibandingkan tenaga kerja INA dalam memproduksi 1 unit B daripada memproduksi unit A [1(A)AS/1(A)INA > 1(B)AS/1(B)INA]. Hal tersebut berarti AS memiliki keunggulan komparatif dalam produksi B. Berdasarkan perbandingan tersebut, Indonesia dan Amerika Serikat masing-masing akan melakukan spesialisasi produksi dan ekspor barang A dan B.
Jadi dapat disimpulkan, bahwa meskipun Indonesia memiliki keunggulan absolut dibandingkan Amerika Serikat  untuk barang A(kain)  dan barang B (computer), perdagangan Internasional tetap bisa terjadi dan saling menguntungkan keduanya melalui spesialisasi di masing-masing negara jika terdapat perbedaan dalam tingkat efisiensi tenaga kerja  (cost comparative advantage) dan atau produktivitas tenaga kerja. (production comparative advantage).
1.3.   Teori Heckscher-Ohlin (H-O)
Teori Hecksher dan Ohlin (H-O) disebut juga teori proporsi faktor (factor proportion) atau teori ketersediaan faktor (factor endowment). Dasar pemikiran teori ini adalah perdagangan internasional, misalnya antara Indonesia dan Amerika Serikat terjadi karena opportunity cost antara kedua negara tersebut berbeda. Perbedaan biaya alternatif tersebut dikarenakan adanya perbedaan dalam jumlah faktor produksi. Jadi karena factor endowment yang berbeda, maka sesuai hukum pasar harga faktor produksi tersebut juga berbeda antara Indonesia dan Amerika Serikat.
Jadi menurut teori H-O, suatu negara akan berspesialisasi dalam produksi dan ekspor barang-barang yang impor utamanya relatif sangat banyak di negara tersebut, serta impor barang yang input utamanya tidak dimiliki oleh negara tersebut (jumlahnya terbatas). Dalam kasus Indonesia, negara tersebut akan ekspor produk-produk yang padat karya (tetapi dalam kategori unskilled workers) atau padat bahan-bahan baku yang berlimpah di dalam negeri, sepeti minyak, batu bara, dan komoditas-komoditas pertanian (Tulus Tambunan, 2001).
Muatan Teori H-O yang utama adalah: (1) Dalam perdagangan internasional yang melandasi keunggulan komparatif adalah bahwa setiap negara memilki hadiah alam dari Tuhan yang berbeda-beda baik secara kualitas maupun kuantitas, sehingga faktor-faktor produksi tersebut akan memilki distribusi yang tidak merata secara proporsional; (2) Perbedaan kepemilikan faktor produksi oleh setiap negara akan mendorong pemakaian faktor produksi dalam kombinasi yang memilki intensitas yang berlainan.  Setiap negara akan mengekspor barang yang memilki intensitas faktor produksi yang melimpah.
Menurut model neoklasik ini, perdagangan internasional tidak bersumber pada perbedaan tingkat produktivitas atau perkembangan teknologi antar negara, melainkan pada perbedaan kelimpahan atau kekayaan faktor produksi. Negara yang memiliki banyak tenaga kerja akan berspesialisasi pada produksi yang bersifat padat karya terutama komoditi primer, serta mengimpor produk yang menggunakan faktor produksi yang langka di negaranya seperti produk manufaktur yang bersifat padat modal.
Teori ini mendorong negara berkembang untuk memfokuskan pengembangan aneka komoditi primer sebagai andalan ekspor yang nantinya akan ditukarkan dengan produk manufaktur. Sehingga, negara berkembang akan lebih berpeluang dalam mengembangkan perekonomiannnya serta memperoleh keuntungan maksimal dari hubungan perdagangan internasional.
Dalam rumusan model kelimpahan faktor, suatu negara diasumsikan pada awalnya akan beroperasi pada suatu titik tertentu di mana kurva batas kemungkian produksi sangat ditentukan oleh kondisi permintaan domestik.

P                        A    C
rasio harga domestik (Pa/Pm)T
manufaktur                     D                B
rasio harga internasional Īam
pertanian                         P
Gambar 2.1  Kurva Perdagangan Atas Dasar Kelimpahan Faktor
Sumber: Todaro, 2000
Berdasarkan gambar 2.1 , dapat dilihat manfaat yang diperoleh dalam hubungan perdgangan internsional. Kurve di atas menunjukkan batas kemungkinan produksi suatu negara sebelum dan sesudah terlibat dalam hubungan perdagangan internasional. Dengan asumsi adanya penyerapan sumber daya secara penuh (full employment) dan kondisi persaingan sempurna, sebelum ada perdagangan internasional negara tersebut akan mengadakan produksi dan konsumsi di titk A, dengan rasio harga relatif Pa/Pm, yang besarnya ditunjukan oleh kemiringan atau besarnya sudut perpotongan antara garis putus-putus (Pa/Pm)T serta garis lengkung tepat di titk A. Setelah terjadi perdagangan internasional, negara tersebut akan berproduksi sampai titik B pada kurva batas kemungkinan produksinya, di mana biaya produk relatifnya sama dengan harga relatif dunia. Nagara ini bisa berdagang sepanjang Īam atau garis harga internasional dengan mengekspor produk pertanian sebesar BD guna memperoleh produk manufaktur (mengimpor) sebesar DC, sehingga masyarakat negara tersebut bisa mencapai titik konsumsi yang lebih tinggi di tititk C, ini menunjukkan peningkatan kesejahteraan di negara tersebut.
Dengan demikian, perdagangan internasional dapat memperbaiki alokasi sumber daya sehingga menjadi lebih efisien melalui spesialisasi produksi dan ekspor komoditi yang menyerap banyak faktor produksi yang banyak dan berlimpah di negara tersebut, serta dapat mengatasi kekurangan faktor produksi tertentu melalui kegiatan impor dari negara lain
Kesimpulan penting dari model tersebut adalah: (a) setiap negara cenderung berfokus atau berspesialisasi pada kegiatan produksi yang keunggulan komparatifnya dikuasai (artinya Negara tersebut memiliki sumberdaya yang dibutuhkan untuk menghasilkan komoditi itu dalam jumlah yang melimpah.  Sebaliknya Negara tersbut akan mengimbangi kelangkaan kelangkaan sumberdaya tertentu dengan cara mengimpor.(b) setiap negara di dunia memperoleh kesempatan untuk memperbesar batas-batas kemungkinan produksinya (production possibility curve) sekaligus menjamin terpenuhinya kebutuhan konsumsi dari produk impor.  Kondisi ini diyakini mampu merangsang pertumbuhan ekonomi suatu negara. (Todaro, 2000).
1.4. Competitive Advantage of Nation
Menurut M Porter, dalam era persaingan global saat ini, suatu negara yang memiliki competitive advantage of nation dapat bersaing di pasar internasional bila memiliki 4 (empat) faktor penentu yaitu:
1.  Factor Conditions
Faktor conditions adalah sumber daya (resources) yang dimiliki oleh suatu   negara yang terdiri atas lima kategori berikut ini.
a.                   Human resources (SDM)
b.                  Physical resources (SDA)
c.            Knowledge resources (IPTEK)
d.           Capital resources (Permodalan) atau (SDC)
e.            Infrastructure resources (Prasarana) atau (SDI)
2. Demand conditions
Permintaan merupakan salah satu faktor penting sebagai penentu keunggulan daya saing atau competitive advantage suatu bangsa/perusahaan produk atau jasa yang dihasilkannya. Adapun yang dimaksud dengan “demand conditions” tersebut terdiri atas:
a.        Composition of home demand
b.        Size and pattern of growth of hoine demand
a.                   Rapid home market growth
b.                  Trend of international demand
3.  Related and Supporting Industry
Untuk menjaga dan memelihara kelangsungan keunggulan daya saing, maka perlu selalu dijaga keberadaan industri pemasok industri terkait, terutama dalam menjaga dan memelihara value chain.
4.  Firm Strategy, Structure and Rivalry
Strategi perusahaan, struktur organisasi dan modal perusahaan, serta kondisi persaingan/rivalry di dalam negeri merupakan faktor-faktor yang akan menentukan dan mem­pengaruhi competitive advantage perusahaan. Rivalry yang berat di dalam negeri biasanya justru akan lebih mendorong perusahaan untuk melakukan pengembangan produk dan teknologi, peningkatan produktivitas, efisiensi dan etektifitas, serta peningkatan kualitas produk dan pelayanan.
Selain keempat factor penentu dalam tingkat persaingan internasional tersebut, keunggulan kompetitif nasional juga dipengaruhi oleh faktor kebetulan ( penemuan baru, kerubahan kurs, konflik keamanan) dan tindakan-tindakan atau kebijakan pemerintah.  Faktor luar lainnya yang penting dan sangat menentukan secara eksternal adalah factor sumberdaya manusia yang dibagi mnenjadi dua, yaitu sistem pemerintahan (goverment) dan terdapatnya akses dan kesempatan dalam melakukan sesuatu hal, yaitu perubahan( Hamdy Hady, 2001).
1.5.   Hyper Competitive ( Richard D’Aveni)
Proses liberalisasi perdagangan dunia, baik secara regional maupun internasional yang berlangsung hingga saat ini, telah menyebabkan persaingan global yang semakin ketat, bahkan menuju kepada “hyper conmpetitive”. Hal ini dibuktikan antara lain oleh adanya persaingan dan ancaman dari Korea, Taiwan, Singapura, dan lain-lain. Persaingan dan ancaman tersebut dihadapi oleh industri elektronik dan otomotif Jepang, AS dan Eropa yang selama ini menguasai pasar dunia.
Selain itu, persaingan yang sangat ketat juga terjadi di antara sesama negara yang sedang berkembang (NSB), khususnya untuk produk-produk industri ringan seperti tekstil dan produk tekstil (TPT), sepatu, agro industri, dan lain-lain.
Kondisi persaingan global yang “hyper competitive” tersebut memaksa setiap negara/perusahaan untuk memikirkan/ menemukan suatu strategi yang tepat. Strategi yang tepat tersebut berupa perencanaan dan kegiatan operasional terpadu yang mengkaitkan lingkungan eksternal dan internal, sehingga dapat mencapai tujuan jangka pendek dan jangka panjang dengan disertai keberhasilan dalam mempertahankan/meningkatkan “sustainablereal income secara efektif dan efisien. Strategi ini dikenal atau disebut sebagai “Sustainable Competitive Advantage ” atau SCA yaitu “keunggulan daya saing berkelanjutan” (terus menerus). Akan tetapi, menurut Richard D’Aveni (1994), pada situasi “hypercompetitive’“, tidak ada lagi perusahaan/negara yang dapat memiliki “keunggulan daya saing berkelanjutan” atau SCA.
Sehubungan dengan pendapat Richard D’Aveni ini, perlu dikemukakan beberapa catatan (H. Hady, 2004) sebagai berikut.:
Pada situasi “hypercompetititve“, keunggulan daya saing suatu perusahaan/negara tetap didasarkan kepada keunggulan kompetitif dinamis, walaupun dengan periode/jangka waktu yang relatif pendek. Beberapa catatan penting dari teori ini adalah: (1) Pengertian SCA atau keunggulan daya saing berkelanjutan harus diartikan sebagai keunggulan yang diperoleh karena invention dan innovation secara terus-menerus, sehingga tetap unggul dari pesaing; (2) Invention dan innovation diperoleh dari hasil research & development, baik yang bersifat scientific maupun applied; (3)“Sustainable cornpetitive advantage” ini relatif lebih tepat dan paling menguntungkan untuk dilakukan dalam sektor agro industri karena sumber atau resource base-nya dapat diperbaharui atau renewable. “Sustainable cornpetitive advantage”, yang diperoleh melalui Invention dan Innovation
Gambar: 2.2.  Sustainable  Competitif Advantage
Sumber: Hamdy Hady, 2004
Dengan demikian, selama suatu negara masih memiliki sustainable competitive advnntage, maka negara tersebut akan dapat terus mengekspor produknya, dan tentunya akan lebih baik untuk mengimpor produk lainnya.
1.6.  Competitive Liberalization
Keinginan masing-masing negara untuk dapat bekerja secara produktif, efisien, dan efektif agar dapat besaing di pasar global pada dekade terakhir ini, telah mendorong terjadinya “competitive liberazation” terutama di kawasan Asia Pasifik,. Khususnya di bidang pedagangan dan investasi.
Competitive liberazation” atau “pesaingan liberalisasi” ini dilakukan karena masing-masing negara berusaha untuk membuat situasi dan kondisi ekonominya menjadi menarik/favorable bagi investor/penanaman modal asing. (H. Hady, 2004)
Persaingan liberalisasi yang dilakukan oleh masing-masing negara yang didasarkan pada “comparative advantage” dinamis dan atau competitive advangate menurut diagram “diamond” Porter’s akan menyebabkan suatu negara dapat mengekspor atau lebih baik mengimpor produk tertentu. Sebaliknya, negara lain lebih balk mengimpor dan mengekspor produk tertentu, sehingga akan terjadi perdagangan internasional yang menguntungkan bagi masing-masing negara.
2.    Definisi dan Ruang Lingkup Ekspor
Definisi ekspor adalah:
1.      Kegiatan mengeluarkan barang dari daerah pabean sesuai peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.  Daerah Pabean adalah:  Wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan dan ruang angkasa diatasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan landasan kontinen yang didalamnya berlaku Undang-Undang Nomor 10 tahun 1995, tentang Kepabeanan( SK Menperindag No. 146/MPP/IV/1999).
2.      Kegiatan jual beli yang dilakukan dengan negara/bangsa lain dengan pembayaran valuta asing (Amir MS, 2000)
3.      Perdagangan dengan cara mengeluarkan barang dari dalam ke luar wilayah pabean Indonesia dengan memenuhi ketentuan yang berlaku (R. Hutabarat, 1994).
Guna memahami proses transaksi ekspor, berikut ini akan diuraikan    empat tahapan  international trade process yang mencakup: (a) Sale’s contract Process; (b) Letter of Credit Opening Process; (c) Cargo Shipment Process; (d) Shipping Documents Negotiation Process.

a.  SALE’S CONTRACT PROCESS

1.         Eksportir mempromosikan komoditas yang diekspornya melalui media promosi seperti pameran dagang, iklan di koran, majalah, radio, maupun televisi, baik di luar negeri maupun di dalam negeri, atau melalui badan-badan khusus urusan promosi ekspor seperti Badan Pengembangan Ekspor Nasional (BPEN). Lembaga Penunjang Ekspor (LPE). Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin Indonesia), Atase Perdagangan RI di tiap Kedutaan Besar RI di luar negeri. Atase Perdagangan asing di tiap kedutaan besar asing yang ada di Jakarta, Kamar Dagang dan Industri negara asing di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia seperti American Chamber of Commerce (AMCHAM). China External Trade Asso­ciation (CETRA), Japan External Trade Orgunization (JETRO), Korean Trade Agency (KOTRA) dan lain-lain. Tujuan promosi adalah untuk menarik minat calon importir terhadap komoditas yang akan diekspor.
2.      Importir yang berminat mengirimkan surat permintaan harga atau Letter of Inquiry kepada eksportir. Letter of Inquiry lazimnya berisikan permintaan penawaran harga dengan memberitahukan mutu harang yang diinginkan, kuantum yang ingin dibeli, harga satuan dan total harga dalam valuta asing (US$ atau lainnya), waktu pengiriman (shipment date), nama pelabuhan tujuan yang diingini.
3.      Eksportir memenuhi permintaan importir dengan mengirimkan surat penawaran harga yang lazim disebut dengan Offersheet. Offersheet berisikan keterangan sesuai permintaan importir, seperti uraian barang, mutu, kuantum, waktu penyerahan, harga dan tempat penyerahan barang, syarat pembayaran, waktu pengapalan, cara pengepakan barang, brosur, dan bila perlu contoh barang yang ditawarkan. Penawaran itu juga menyebutkan apakah penawaran bersifat free offer ataukah firm offer.
4.   Importir, setelah mempelajari dengan saksama offersheet dari eksportir, menempatkan surat pesanan dalam bentuk ordersheet atau purchase order kepada eksportir.
5.   Eksportir menyiapkan kontrak jual beli ekspor (sale’s contrac) sesuai dengan data dari offersheet dan ordersheet ditambah keterangan seperti force majeur clause, klaim, syarat pengapalan seperti partial shipment, transhipment, vessel age, dan lain-lain. Kontrak tersebut ditandatangani oleh eksportir dan dikirimkan kepada importir untuk ditandatangani pula sebagai tanda persetujuan atas sale’s contract itu. Lazimnya sale’s contract dibuatkan dalam rangkap dua (two original)
6.      Importir mempelajari sale’s contract dengan saksama, dan bila menyetujuinya kemudian ia menandatangani dan mengembalikan kepada eksportir. Satu original copy ditahan oleh importir sebagai dokumen asli transaksi yang lazim disebut sebagai sale’s confirmation. Kedua sale’s confirmation yang asli ini mempunyai kekuatan hukum yang sama.
b.  L/C OPENING PROCESS
1. Importir meminta kepada bank devisanya untuk membuka sebuah Letter of Credit (L/C) sebagai dana yang dipersiapkan untuk melunasi hutangnya kepada eksportir, sejumlah yang disepakati dalam sale’s contract dan sesuai dengan syarat-syarat pencairan yang disebut dalam sale’s contract dan merujuk pada ketentuan dari The Uniform Customs and Practice of Document Letter of Credit dari Kamar Dagang Internasional. Paris no. 500 atau UPC-DC-500. L/C yang dibuka adalah untuk dan atas nama eksportir atau orang atau badan usaha lain yang ditentukan eksportir, sesuai kesepakatan dalam sale’s contract. Bank devisa yang diminta importir membuka L/C itu disebut open­ing bank. Opening bank inilah yang bertanggung jawab melakukan pembayaran atas L/C itu kepada eksportir penerima L/C. Importir yang meminta pembukaan L/C disebut aplicant.
2.      Opening bank setelah menyelesaikan jaminan dana L/C dengan importir, melakukan pembukaan L/C melalui bank korespondennya di negara eksportir. Pembukaan L/C dilakukan dengan surat, kawat, teleks, faksimili, atau media elektronik lainnya yang sah. Penegasan pembukaan L/C dalam bentuk tertulis itu disebut L/C confirmation yang diteruskan oleh opening bank kepada bank korespondennya untuk disampaikan kepada penerima, yaitu eksportir yang disebut dalam surat itu.
Bank koresponden yang diminta opening bank untuk menyampaikan amanat pembukaan L/C disebut advising bank.
3.      Advising bank setelah meneliti keabsahan amanat pembukaan L/C yang diterimanya dari opening bank meneruskan amanat pembukaan L/C itu kepada eksportir yang berhak menerima dengan surat pengantar dari advising bank. Surat pengantar itu disebut L/C Ad­vise, sedangkan eksportir penerima L/C disebut sebagai beneficiery dari L/C itu. Bila advising bank diminta dengan tertulis oleh open­ing bank untuk turut menjamin pembayaran atas L/C tersebut, maka advising bank juga disebut sebagai confirming bank.

Gambar 2.3. Letter of Credit Opening Process
Sumber: Amir MS (2003)
c. CARGO SHIPMENT PROCESS
1. Eksportir setelah menerima L/C confirmation yang sifatnya operatif (sah sebagai landasan pembayaran) kemudian mempersiapkan barang ready for export, melakukan booking atau memesan ruangan/tempat kepada perusahaan pelayaran (shipping company) yang kapalnya akan berangkat ke pelabuhan tujuan yang dimaksud dalam sale’s contract serta sesuai dengan waktu pengapalan (shipment date) yang disepakati dalam sale’s contract tersebut.  Eksportir kemudian mengurus formalitas ekspor seperti mengisi pemberitahuan ekspor barang, membayar Pajak Ekspor (PE) dan Pajak Ekspor Tambahan (PET) melalui advising bank, mengurus izin muat kepada Kantor Inspeksi Bea dan Cukai di pelabuhan rnuat. Setelah semua formalitas ekspor selesai, eksportir menyerahkan barang kepada perusahaan pelayaran (shipping company) untuk dimuat pada waktu yang disepakati.
2. Shipping conpany, setelah selesai melakukan pemuatan barang ke atas kapal, menyerahkan bukti penerimaan barang, bukti kontrak angkutan, dan bukti pemilikan barang dalam bentuk Bill of Lading atau transport document lainnya kepada eksportir yang dalam pengangkutan ini disebut sebagai shipper.
3.  Shipping company selanjutnya bertanggung jawab mengangkut muatan itu sampai ke pelabuhan tujuan, serta menyerahkannya dengan selamat dan utuh kepada penerima barang yang disebut dalam B/L di pelabuhan tujuan (destination port) yang juga disebutkan dalam B/L itu.
4. Importir selaku penerima barang (consignee), bila telah menerima dokumen pengapalan (shipping document) dari opening bank, mengurus izin impor (import clearance) kepada pihak Bea Cukai di pelabuhan tujuan. Kemudian importir menghubungi agen pelayaran (shipping agent) di pelabuhan tujuan di negaranya untuk menerima muatan itu.
5. Shipping agent menyerahkan muatan kepada importir segera setelah pelunasan biaya yang menjadi hak shipping agent bersangkutan. Dengan ini maka selesailah proses penerimaan barang oleh importir.
Gambar 2.4.  Cargo Shipment Process
Sumber: Amir MS (2003)

d.  SHIPPING DOCUMENTS NEGOTIATION PROCESS
1.      Eksportir, setelah menerima Bill of Lading dari perusahaan pelayaran, menyiapkan semua dokumen pengapalan yang di­syaratkan dalam Letter of Credit seperti faktur, daftar pengepakan, sertifikasi mutu, Surat Keterangan negara Asal (SKA) dan lain sebagainya seperti wesel (draft) serta surat pengantar negosiasi dokumen secara lengkap dan cermat. Semua dokumen pengapalan itu diserahkan eksportir kepada negotiating bank yang ditentukan dalam L/C untuk memperoleh pembayaran (payment).
2.      Negotiating bank meneliti dengan saksama semua dokumen pengapalan yang diminta dalam syarat-syarat L/C. Bila semua cocok baik jumlah, jenis, maupun uraian sebagaimana yang dituntut oleh L/C, maka negotiating bank akan membayarkan jurnlah yang ditagih oleh eksportir dari dana L/C yang tersedia.
3.      Negotiating bank meneruskan dokumen pengapalan yang sudah dilunasi itu kepada opening bank yang membuka L/C bersangkutan sebagai penagihan kembali uang yang sudah dibayarkan oleh nego­tiating bank tersebut kepada eksportir.
4.  Opening bank memeriksa dengan saksama semua dokumen pengapalan itu. dan bila ternyata sesuai dengan syarat-syarat L/C yang dibuka maka opening bank kemudian melunasi uang yang sudah dibayarkan oleh negotiating bank. Pembayaran pelunasan kembali ini disebut sebagai reimbursement.
5. Opening bank selanjutnya memberitahukan penerimaan dokumen pengapalan itu kepada importir. Importir akan mengambil dokumen pengapalan itu kepada opening bank dan menyelesaikan pelunasan dokumen pengapalan tersebut dengan opening bank bersangkutan. Setelah itu opening bank akan menyerahkan seluruh dokumen pengapalan itu kepada importir untuk dipergunakan menerima barang bersangkutan dari perusahaan pelayaran dan Bea Cukai setempat.